Profile

My photo
.:muslim.love Allah.love Muhammad saw.love Ibrahim as.indonesian.29 years old.a wife.a mom.love travelling and drawing.wear hijab since 2003:.

Labels

15.11.10

tiga menit sebelum hari ini berakhir

Kondisi kejiwaan saya saat ini memang sedang tidak stabil. Saya berada pada titik yang paling bawah. Tidak dihargai sebagai seorang pekerja dan juga sebagai seorang manusia. Ahh…sungguh, sangat tidak menyenangkan. 

Hari ini, saya mendapat panggilan untuk tes tertulis dan wawancara. Setelah dua hari yang lalu saya mengirimkan surat lamaran pekerjaan ke sebuah perusahaan komersil. 

Saya datang sepuluh menit lebih awal. Ternyata saya yang pertama. Saya pikir, saya yang datang paling akhir. Lima belas menit kemudian, anak muda berkacamata masuk kedalam ruang tamu itu. Dia juga mendapat panggilan tes. 

Pelajaran pertama, saat datang memenuhi panggilan tes, usahakan tidak memakai kaos (sekalipun itu kaos berkerah) dan celana jeans (sekalipun merk terkenal karena itu tidak akan nampak, sebab tertutup oleh ikat pinggangmu).

Sudah lebih dua puluh menit dari jadwal tes yang dijanjikan. Perempuan cantik berkacamata duduk bersama kami. Ditemani suami dan anaknya yang masih batita. 

Pemandangan ini menurunkan semangat saya. Apa yang sudah saya lakukan? Saya sudah memiliki pekerjaan dan sekarang mencoba melamar pekerjaan lain,  bersaing dengan seorang ibu muda yang memerlukan tambahan uang untuk membelikan susu formula anaknya. 

Batita itu mengatakan sesuatu kepada saya, wajahnya yang lucu dan menggemaskan, berubah menjadi sangat garang, “Enyah kau dari sini. Beri jalan untuk Ibuku. Dia membutuhkan pekerjaan!”. Lalu dia menunjuk dengan telunjuk kanannya popok yang dia kenakan. “Kau tau tidak? Pembalut yang aku pakai ini harganya jauh lebih mahal dari pembalut yang kau kenakan! Ah…kau pasti tidak mengerti soal pembalut bayi. Payah!”

Batita itu masih akan mengatakan sesuatu, tapi urung karena kami sudah dipanggil. Tes akan dimulai.

Saat tes sudah berlangsung selama sepuluh menit, seorang lelaki bertubuh gempal datang tergopoh-gopoh. Maaf, saya terlambat, begitu ucapnya. 

Pelajaran kedua, jangan pernah datang terlambat, karena itu berarti “tidak menghargai”.

Saya mengerahkan seluruh tenaga dan pikiran untuk mengerjakan soal-soal tes itu. Ini pelajaran yang aku terima enam tahun yang lalu. Oh…Tuhan, tega sekali, pikirku.

Satu jam berlalu. Dan sekarang kami menunggu giliran untuk wawancara. Saya sempat berbincang dengan lelaki bertubuh gempal yang datang terlambat tadi. Ternyata dia salah satu dari sekian banyak yang menjadi korban letusan gunung Merapi. Cukup sudah. Aku akan mundur dengan teratur. Ibu muda dengan anak batita yang mengatakan tentang pembalut bayi, lalu sekarang korban Merapi. Lalu alasan saya duduk disini? 

Saya tidak memerlukan waktu lama untuk wawancara, berbeda dengan ketiga teman saya yang sudah selesai lebih dulu. Saya berjalan menuruni tangga menuju lantai dua. Tiga meja berbaris rapi. Perempuan-perempuan muda duduk disana. Tidak ada senyum. Lalu saya berjalan menuruni lantai pertama. Disebuah ruangan yang tidak terlalu besar, meja disusun menghadap tembok. Pemilik meja itu menekuri kertas-kertas. Jangankan tersenyum, melihat saya pun tidak. Yang mereka lihat adalah tembok. Sejak kapan mereka melakukan ini? Seperti itukah yang mereka lakukan setiap hari?

Dan komentar ibu di meja makan ketika saya selesai bercerita tentang pengalaman hari ini adalah, “Tidak perlu kau teruskan. Nanti ambeien-mu tambah parah. Setiap hari hanya duduk pekerjaanmu.”

Beberapa menit lagi, hari ini berakhir, dan berganti hari esok. Sebelum hari ini berakhir, saya ingin mengatakan sesuatu. Saat ini, saya memang sedang berada pada suatu kondisi yang tidak menyenangkan. Sedih. Kecewa. Marah. Tetapi, balita yang mengatakan kepada saya bahwa betapa bodohnya saya tentang pembalut bayi, lalu lelaki bertubuh gempal korban Merapi itu, membuat perasaan saya lebih baik. Apalagi kata-kata Ibu soal ambeien itu.

Sudah tiga tahun saya bekerja disini. Saya mendapat kesempatan dan kepercayaan yang luar biasa. Saya mendapat sosok pemimpin sekaligus teman. Kenapa saya harus merusaknya hanya karena perbuatan segelintir orang yang tidak bertanggungjawab. Kenapa saya harus jatuh karena perbuatan pengecut? 

Inilah dunia saya. Saya bisa bertemu dengan banyak orang. Saya memiliki banyak keluarga sekarang. Di Meulaboh, Bantul, Gunung Kidul, Alor, dan Flores. 

Seandainya Ibu tidak hanya memahami saya soal ambeien itu, tetapi juga memahami bahwa saya tidak ingin (baca:belum ingin, supaya tidak terlalu nampak sombong) mejadi pegawai negeri…

Tiga menit sebelum hari ini berakhir...

Yogyakarta, pertengahan November

Terimakasih Kebo, saya sudah melakukan apa yang ingin saya lakukan.
Terimakasih Pak Otto, salam hangat untuk Aning, memberi saya semangat baru dan memahami indahnya perbedaan.

5 comments:

  1. Makasih buntutnya...
    Tapi Tenggarongnya dimana Monn???
    (^_^)
    huehehehe....

    ReplyDelete
  2. terimakasih untuk kebo saya yang sedang merumput di Tenggarong...
    begitukah??
    ^^

    ReplyDelete
  3. Yun, cerita yang menarik. Percayalah, sebagai sesama penderita ambeien, meski di kantor ini kita diminta untuk duduk manis berjam-jam menghadapi tumpukan kertas dan sebiji monitor kompi/laptop, kita dibolehkan berjalan menikmati senyuman orang di desa sana. Karena merekalah aku bertahan dalam pilihan hidup ini.
    Kau boleh bersyukur, gak ada penyakit penyerta lainnya. lha aku selain ambeien juga kolesterol je. hehehhee

    ReplyDelete
  4. tepat sekali sist...
    itulah mengapa saya bertahan disini ^^

    ReplyDelete
  5. begitulah Bo...
    (^_^)
    hehehehehee....

    ReplyDelete