Profile

My photo
.:muslim.love Allah.love Muhammad saw.love Ibrahim as.indonesian.29 years old.a wife.a mom.love travelling and drawing.wear hijab since 2003:.

Labels

27.10.10

humaira, will you wait for me?

Sudah lama ingin kutulis cerita ini. Dan akhirnya sekarang terwujud sudah. Karena rasa rinduku yang tiba-tiba membuncah padanya.

Maret 2007. Berawal saat aku bergabung dengan sebuah LSM lokal dan ditugaskan ke Aceh. Tepatnya kota Meulaboh, Aceh Barat. Satu tim bersama dua orang temanku yang lain, kami mendampingi suatu desa yang bernama Kuala Bubon. Desa nelayan dengan karakteristik yang luar biasa, penuh dengan konflik, penuh dengan kasih sayang, serta penuh dengan pelajaran.

Saat musim kemarau, begitu panas dan terik disana. Sebaliknya, saat musim hujan tiba, ekstrim sekali hujannya. 

April 2007. Seperti biasanya, siang itu aku berjalan menyusuri barak-barak tempat tinggal mereka. Barak itu berupa rumah panggung dari kayu yang dibuat memanjang.  Satu loss barak terdiri dari empat rumah dengan ukuran 7x7 meter. Aku berjalan sambil mencuri sisa-sisa bayangan teduh atap yang tercipta dari matahari yang mulai bergeser ke barat.
Sebenarnya pekerjaanku adalah mendampingi koperasi yang ada di desa itu. Lembaga kami memberikan pinjaman modal usaha untuk pengembangan kegiatan ekonomi di wilayah itu. Tapi aku senang berbicara dengan orang-orang disana tentang apa saja. Mulai dari hasil tangkapan nelayan, model pakaian terbaru, budaya Aceh, masakan Aceh sampai lelaki tampan yang ada di desa itu. Kawan, aku juga perempuan normal. Di aceh aku bisa menemukan wajah Arab, Portugal, dan India. Menarik sekali.

Aku tiba di ujung barak. Barak terakhir. Pintunya terbuka. Seorang ibu sedang duduk bersama anak gadisnya.  Aku menyapanya dengan senyum. Ibu itu membalasnya dan memintaku singgah di rumahnya. Aku menaiki larik-larik tangga baraknya. Aku mengucapkan salam dan ibu itu membalasnya. Kami berbagi tempat duduk di atas selembar tikar pandan yang tidak terlalu besar. Ibu itu segera membuka pembicaraan dengan maaf, karena bulan ini belum bisa mengembalikan angsuran ke koperasi, belum punya uang. Aku segera menjelaskan bahwa aku tidak sedang menagih utang. Hanya sekedar jalan-jalan saja.
Kami membicarakan apa saja. Mulai dari pekerjaan suaminya yang menjadi sopir proyek karena tidak bisa melaut. Suaminya mabuk laut, sehingga tidak memungkinkan untuk menjadi nelayan. Aku terus berbicara dengan si ibu, namun pandanganku tidak lepas pada gadis kecil yang berada dipangkuan ibu itu. Rambutnya ikal sampai bahu. Mungkin usianya sekitar 6 tahun. Matanya bulat namun kosong. Tidak berhenti dia menghisap ibu jari tangan kanannya.

Cantik, siapa namamu?

Humaira. 

Terlahir normal dan cerdas. Hingga usianya 5 tahun, saat itu badannya panas tinggi dan kejang-kejang. Dan mulai detik itu, Tuhan menunjukkan kuasa-Nya. Dari balita yang terlahir normal dan cerdas, menjadi seorang Humaira yang “luar biasa”.

Kawan, yang aku tahu Humaira adalah bahasa Arab. Artinya mawar merah. 

Dan sejak saat itu, aku lebih sering singgah ke barak itu. Terkadang aku mendapat pelukan hangat dari Humaira. Namun terkadang dia menjadi histeris, berteriak kencang, dan memukul orang-orang yang ada di sekitarnya. Saat itu, akupun tidak luput dari pukulan tangan kecilnya. Kemudian dia akan menangis meraung-raung.

Desember 2007. Hingga siang itu, Humaira sakit. Badannya panas tinggi. Kami tidak membawanya ke rumah sakit terdekat karena orang tua Humaira takut jika nanti harus membayar tinggi. Rekan kerjaku, dokter witono memutuskan untuk membawa Humaira ke klinik milik LSM rekan kami. Mungkin disana lebih ringan biayanya, atau mungkin bisa gratis.

Karena mobil kantor mobil bak terbuka, Ayah Humaira duduk di bak belakang. Adik Humaira ada di pangkuanku dan Humaira di pangkuan ibunya. Jarak klinik itu lumayan jauh. Tak henti-hentinya aku berdoa semoga tidak terjadi apa-apa di jalan nanti. Karena bisa jadi kami yang harus bertanggungjawab, membawa Humaira ke klinik yang jaraknya lebih jauh.
Belum sampai setengah perjalanan, ibu meminta mobil kami berhenti. Beliau mual, dan ingin pindah ke belakang. Aku mencoba mencegahnya karena siang itu begitu terik. Ibu memaksa.Aku mengalah. Dia mengajak serta si kecil ke bak belakang. Aku tetap berada didepan bersama Humaira. 

Humaira tertidur.

Wajahnya pucat.

Matanya yang bulat tertutup rapat.

Ada apa Humaira?

Apakah kau ingin meronta? Menolak keputusan Tuhan atasmu? Tidak ada gunanya Humaira-ku…

Aku melayangkan pandanganku keluar jendela mobil. Pipiku hangat…

Hari pertama…barak itu masih kosong.

Hari kedua pintu tertutup rapat.

Humaira masih di klinik. Sore itu, hari ketiga, aku berangkat ke klinik. Setengah perjalanan, langit gelap. Angin menjadi tidak bersahabat dan terasa dingin. Badai pikirku. Dan benar, hujan turun dengan derasnya disertai angin yang kencang. Jarak pandangku terbatas. Membuatku kesulitan mengenali persimpangan jalan menuju ke klinik itu. Kenapa aku tidak menemukan papan nama klinik itu? Aku terus mengendarai motorku dan sampai di sebuah jembatan besar. Didepan sana kebun tebu. Sepi. Aku berbalik arah. Terus berharap menemukan papan nama klinik itu, persimpangan jalan itu. Tapi aku masih kesulitan.

Azan magrib.

Humaira, maaf…

Aku singgah di sebuah masjid. Badanku basah kuyup. Mantel tidak mampu menahan hujan deras itu. Seusai shalat, kusandarkan tubuhku di salah satu tiang. Rabb…kenapa Engkau tidak mengizinkan aku bertemu dengannya?

Hari keempat, aku sudah melihat si mata bulat berambut ikal itu. Humaira sudah sembuh. Dia memeluk tubuhku. Hangat. Humaira memanggilku Kakak…

Setelah kejadian itu,aku kadang masih melihatnya bermain di taman kanak-kanak dekat masjid. Aku sempatkan untuk menyapanya.  Meskipun terkadang dia tidak perduli.
Pekerjaanku semakin hari bertambah banyak. Satu semester lagi kami akan closing project. Tidak hanya mengurus koperasi, aku juga menjadi penanggung jawab keuangan untuk pelaksanaan pembangunan beberapa fasilitas untuk masyarakat disana. 

April 2008. Humaira, apa kabarmu? Sudah tidak tinggal di barak lagi. Sekarang kalian sudah punya rumah permanen. Humaira dan keluarganya tidak tinggal di komplek perumahan yang baru. Tapi mereka pindah ke kampung sebelah.

Agustus 2008. Humaira, bulan depan Kakak harus pulang. Selesai sudah pekerjaan kami. Semoga apa yang sudah diberikan Tuhan melalui kami, bisa bermanfaat untuk kalian semua. Di tepi pantai, sekarang ada sebuah Menara dengan taman bermain sederhana? Singgahlah kesana.

Sore itu aku menghabiskan waktu di tepi pantai. Sendiri. 

Humaira…

Seminggu lagi Kakak pulang. Mungkinkah kakak melihatmu. Entah untuk yang terakhir kali atau bukan. Aku merindukan pelukan hangatmu. Aroma tubuhmu yang khas karena setelah bermain seharian engkau enggan untuk mandi. Pukulan dari tangan kecilmu. Tatapan mata bulatmu.

Kawan, pernah dulu Humaira memeluk dan berkata padaku, kakak cantik…

Engkau yang lebih cantik Humaira. Saat engkau dewasa nanti, mengerti arti cinta, mengerti arti kesabaran, engkau akan jauh lebih cantik. Saat engkau menerima semua dengan ikhlas, mungkin Rabb akan menjadikanmu Bidadari Surga.

Humaira, will you wait for me? 
Untuk kembali memeluk tubuh hangatmu. Menatap bola matamu. Melihat rambut ikalmu yang memerah karena engkau tidak perduli saat bermain dibawah panasnya matahari.
Untuk menerima pukulan dari tangan kecilmu. Dan katakan padaku arti IKHLAS.
Rabb…saat kami membawa Humaira ke klinik. Panas tinggi yang terjadi padanya. Kenapa Engkau melakukan itu? Apakah dia membangkang atas kehendak-Mu padanya? Apakah seberat itu hukumannya? Aku. Aku hamba-Mu yang begitu banyak meronta kepada-Mu. Engkau justru memberikanku begitu banyak kesempatan. Kenapa Engkau tidak menghukumku? Kenapa harus Humaira? 

Rabb…aku bodoh. Aku yang sering tidak mengerti atas takdir-Mu. Lantas apakah itu sebuah pembangkangan jika aku berkata TIDAK! Apakah salah jika Humaira juga berkata TIDAK! Engkau-lah yang menciptakan bongkah perasaan itu. Dan aku lemah untuk memahami semua perasaan itu. Sangat lemah Rabb…

Saat Malaikat Atid-sang pencatat keburukan, membuka lembaran catatan raksasanya, dan berkenan menghapus dosa-dosa atas pemberontakan-ku, entah butuh berapa hari untuk menghapusnya. Mungkin 365 hari langit, yang setara dengan 365 ribu tahun hari bumi. Seharusnya aku malu dan berpikir. Tapi tidak pernah kulakukan sampai dengan saat ini.
Yang ada dipikiranku, setelah ini semua, aku ingin bekerja di LSM yang peduli terhadap anak-anak seperti Humaira.

Yogyakarta, 10 Juli 2010. Terimakasih Tere, inspirasi saya…

No comments:

Post a Comment