Sore itu, jalan kecil didepan kantor masih basah karena hujan. Telat lagi. Padahal sudah dari satu jam yang lalu aku mendengar adzan Ashar. Enggan meninggalkan pekerjaan. Payah…padahal Tuhan saja enggan meninggalkan hamba-Nya.
Langit masih gelap. Ruangan dalam masjid juga gelap dan sepi. Sudah setahun lebih aku sering shalat di masjid ini, tapi tidak pernah tahu yang mana saklar lampu. Pernah dulu mencoba-coba saklar yang ada disitu, tapi malah kipas angin yang menyala. Mencoba saklar yang lain, ternyata pompa air. Kemudian saklar yang lain lagi, ternyata itu benar saklar lampu, tapi lampu ruang wudhu. Jadi, kuterima saja ruangan yang gelap saat aku terlambat shalat ashar berjamaah.
Kawan, tulisanku yang terakhir beberapa waktu lalu, aku kehilangan bapak tua. Kira-kira sebulan yang lalu, aku sempat menanyakan pada penjual mie ayam yang sering mangkal di depan masjid (kemudian ba’da ashar, tempat mangkalnya berpindah di depan kantor kami). Dia bilang, bapak tua sedang sakit, jadi untuk sementara dia dirawat oleh keluarganya. Tempat tinggalnya tidak dikampung ini lagi.
Hujan kembali turun. Dulu, saat seperti ini, bapak tua memanggilku dan meminjami aku payung.
Baba..ba..baba..huh! Kemudian jari-jari tangannya membentuk bilangan enam. Empat jari di tangan kiri terlipat, lima jari kanan berdiri dan ibu jari kiri ikut membantu si kanan. Kembalikan jam enam nanti. Saat shalat magrib berjamaah di sini.
Aku berdiri sejenak di pintu masjid. Dulu, aku selalu melihat punggung Bapak tua.
Bababa..ba..baba… Setiap aku akan meninggalkan masjid, selalu ada yang dikatakannya. Entah apapun itu, tapi aku selalu membalasnya dengan senyum.
Bapak, aku merindukanmu. Rindu seorang anak pada ayahnya.
Aku melangkah meninggalkan masjid. Berusaha melindungi tubuhku dari hujan dengan mencuri-curi sisa atap rumah warga. Tetapi tetap saja basah. Aku berhenti. Didepan sana tidak ada sisa atap rumah yang bisa aku curi, karena pagar beton yang cukup tinggi dan halaman depan yang penuh dengan tanaman hias. Mengumpulkan tenaga untuk ambil langkah seribu. Mengangkat bagian bawah gamisku satu jengkal diatas mata kaki. Dan sajadah untuk menutupi kepalaku.
Mataku fokus pada pintu kantor. Tapi sejurus kemudian berpindah ke gardu yang ada didepan kantor. Kabur memang, aku tidak mampu melihat dengan jelas karena tidak memakai kacamata, ditambah dengan rintik hujan. Gardu itu bentuknya masih seperti kemarin sore, tiga hari yang lalu, seminggu yang lalu, bahkan setahun yang lalu. Dan sebentar lagi, penjual gorengan akan mangkal disitu.
Mengenakan celana pendek, memakai topi, dan sesuatu berwarna silver yang menyandarkan tubuhnya di dinding gardu. Benda itu nampaknya sudah lelah, namun dia sudah bersumpah setia pada pemiliknya, untuk menemani, kemanapun pemiliknya melangkah. Itu krek penyangga milik Bapak tua.
Aku berlari menuju Bapak tua. Bapak tua itu tertawa. Aku juga melakukan hal yang sama. Tanpa aku minta, dia bercerita.
Babababa…babaa…baa… Baba..baaaa.. Tangannya ikut bergerak-gerak membantunya bercerita. Kawan, aku akan membantu mengartikannya untukmu. Bapak tua sakit, bekas operasi di kakinya kambuh lagi. Sepertinya, sambungan pada tulang kakinya yang patah bermasalah. Jadi tulang yang seharusnya bertemu, malah terbuka, dan membuatnya kesakitan. Bapak tua menungkupkan kedua telapak tangannya di depan dada kemudian menunjuk masjid dan menirukan orang shalat. Bapak tua meminta maaf karena tidak pernah lagi shalat di masjid. Dia tinggal dirumah di kampung bawah sana. Bapak menunjukkan jalannya padaku.
Bapak, biarkan aku sejenak duduk disampingmu. Banyak yang ingin aku ceritakan padamu.
Bapak, awal bulan lalu aku memesan gamis melalui online store. Online store itu semacam toko yang menjual barang, tapi kita tidak bisa melihat secara fisik barang-barang yang dijualnya. Hanya gambar-gambarnya saja yang bisa kita lihat melalui internet (ahh..engkau pasti juga tidak paham apa itu internet). Kita pesan, kemudian membayarnya, lalu nanti mereka akan kirim barangnya. Emmm..terlalu susah ya.. Mungkin suatu saat nanti aku bisa menunjukkan padamu. Kita coba memesan barang yang cocok untukmu. Sarung atau baju koko untukmu.
Bapak, aku sudah menyelesaikan kuliahku. Hasilnya memang biasa saja. Tapi di hatiku, ada kebahagiaan dan kebanggaan yang mengintip malu-malu. Di umurku yang sudah dua puluh lima tahun ini, aku menempuh kuliah selama empat tahun dan memiliki pengalaman kerja hampir lima tahun. Itu cukup menyenangkan untukku. Dan gamis yang aku pesan di online store itu, akan aku kenakan saat wisuda nanti. Bapak pernah datang ke wisuda? Wisuda itu semacam perayaan kelulusan. Tapi ada juga yang bilang seperti pernikahan. Ada gugup, haru, bahagia, sedih, semua berbaur menjadi satu. Apalagi jika itu wisuda yang pertama dan yang terakhir (wisuda s1 bagi mereka yang tidak berkeinginan melanjutkan s2 dan s3).
Tadinya aku membayangkan wisuda yang menyenangkan. Tetapi, sekarang, setelah semua aku siapkan, membayangkannya aku enggan.
Bapak, aku tidak tahu besok kita masih bertemu atau tidak. Bapak mau menemaniku? Aku ingin pergi ketempat yang tenang. Yang bisa membuatku merasa jauh lebih baik.
Bapak tua meringis kesakitan memandangi bekas operasi di kakinya.
Ahhh…sepertinya Bapak disini saja. Menungguku. Aku akan kerja keras dimanapun aku berada nanti. Bapak tahu? Aku ingin merasakan bagaimana rasanya wisuda pasca sarjana. Aku akan menunjukkan kepada seseorang, bahwa aku bisa memiliki gelar itu dengan keringatku sendiri, bukan dengan cara yang menjijikkan.
Bapak disini saja. Menungguku. Nanti, jika aku sudah punya cukup uang, kita akan mencoba online store. Kita pesan sarung dan baju koko untukmu. Ditambah beberapa lembar pakaian lagi yang bisa Bapak pakai sehari-hari. Mungkin kursi roda juga akan sangat membantumu. Aku sering melihat di televisi kursi roda otomatis. Nanti aku akan membawa komputer jinjing dan duduk di depan kantor bersamamu. Dengan bantuan Wi-Fi, akan aku tunjukkan internet dan online store kepadamu.
Bababa…bababa…ba…huh.. Ah Bapak, engkau tidak menanyakan apa itu Wi-Fi kan? Aku artikan saja,anakku, engkau tampak cantik dengan jilbab warna coklat sore ini.
Bapak disini saja. Menungguku. Bapak, doamu aku mohon. Semoga Rabb merengkuh kami berdua.
Bapak disini saja. Menungguku. Dan nanti, kita akan bertemu kembali…
Yogyakarta, bulan September, sore-sore dimana hujan sering turun, Rabb aku mengadu padamu…
No comments:
Post a Comment