Bapak, apa kabarmu?
Masih aku ingat dengan jelas terakhir kita bertemu. Saat itu hujan turun. Engkau menghabiskan sore di gardu depan kantor. Krek penyangga perakmu bersandar didinding gardu. Bersyukur hujan turun, dia bisa sejenak istirahat. Namun sepertinya ada keinginan hujan segera reda, agar dia bisa menemani bapak berjalan-jalan menghirup udara di sore hari.
Bapak, anakmu sudah wisuda. Aku sudah menjadi sarjana ekonomi sekarang. Aku melewatkan acara wisuda tanggal dua oktober lalu. Abah dan ibu datang ke acara itu. Entah apa yang mereka pikirkan saat itu, datang ke wisuda, sementara anaknya berada di pulau lain. Dan aku berusaha untuk tidak terlalu peduli.
Hari itu, saat aku akan berangkat ke Flores, aku tidak menemukanmu di gardu ataupun di masjid. Ada yang ingin aku sampaikan kepadamu. Sepertinya Tuhan mendengar doaku. Ingin pergi sejenak, untuk memahami semuanya. Seandainya aku mengatakan kepadamu bahwa aku akan pergi sebentar, tentu Bapak akan berkata “Bababa..bababaa…ba…” Aku mengartikannya, “Hati-hati nak…” Aku yakin, sangat yakin, engkau tidak akan melarangku kemanapun aku akan pergi. Engkau tidak akan meminta apapun, karena yang engkau pinta hanya, aku baik-baik saja dimanapun aku berada. Engkau juga tidak akan meminta aku untuk meninggalkan pekerjaanku saat ini, dengan alasan orang-orang nasrani harus kita perangi. Aku memang sedang belajar untuk mencintai seseorang karena keislamannya. Namun bukan berarti aku memusuhi orang yang tidak beragama sama denganku. Bukankah Nabi Muhammad tidak pernah mengajarkan untuk memusuhi orang, sekalipun berbeda agama dengan kita? Agamamu agamamu, agamaku agamaku. Sekalipun diluar sana banyak yang memaksakan agamanya kepada orang lain dengan tawaran yang menggiurkan, aku percaya, sangat percaya, Allah sendiri yang akan menjaga Islam.
Bahwa diciptakannya manusia oleh Allah adalah untuk beribadah kepada-Nya, untuk berbuat kebaikan diatas muka bumi ini karena-Nya. Bahwa menjaga hidup satu nyawa manusia itu sama dengan menjaga nyawa seluruh umat manusia.
Hujan turun tidak terlalu deras. Tidak lama, mendung beranjak pergi, digantikan langit biru. Bapak kemarilah. Berjalan bersamaku. Membiarkan kaki kita bercumbu dengan pasir pantai. Aku tidak akan terlalu jauh mengajakmu berjalan. Berjalan di pasir dengan krek penyangga tentu terasa sulit untukmu. Engkau akan merasa kelelahan.
Kita duduk disini saja. Membiarkan angin laut membelai wajah tuamu. Mendengarkan ceritaku.
Bapak, lihat ombak itu. Dia bergerak kedepan, membentuk gulungan yang indah, memeluk pasir pantai untuk beberapa saat, lalu berjalan mundur. Aku menyebutnya tarian ombak. Seperti ketika malam itu, aku menari bersama dengan teman-teman baru. Aku berani bersumpah, engkau tidak akan pernah melihatku sebahagia malam itu. Saat kita berani mengalahkan rasa takut akan sesuatu yang baru, yang belum pernah kita lakukan sebelumnya, ternyata rasanya sangat menyenangkan. Ada perasaan yang membuncah di dalam dada. Kawan, pelajaran pertama adalah, berani itu menyenangkan.
Lalu saat aku mengunjungi desa dampingan LSM tempatku bekerja. Desa itu di pesisir pantai. Seperti kebanyakan di wilayah lain, desa di pesisir pantai mayoritas penduduknya muslim. Mobil diparkir di halaman masjid. Disamping kanan, kiri, dan belakang masjid itu rumah-rumah penduduk dibangun dari kayu, sederhana sekali. Ketika melewati sebuah rumah, terdengar suara anak-anak yang sedang mengaji. Lantang sekali mereka bersuara. Sepertinya sengaja mereka melakukan itu. Seakan-akan supaya Tuhan mendengar dengan jelas. Supaya Tuhan tahu, bahwa mereka, anak-anak itu sangat sayang kepada-Nya. Malaikat dengan sayapnya yang kokoh, membawa alunan ayat suci tersebut, mendekap erat didadanya, melesat ke langit menuju singgasana-Nya. Tuhan Maha Mendengar. Tuhan Maha Mengetahui. Dan Tuhan Maha Penyayang.
Lalu saat aku mengunjungi desa dampingan LSM tempatku bekerja. Desa itu di pesisir pantai. Seperti kebanyakan di wilayah lain, desa di pesisir pantai mayoritas penduduknya muslim. Mobil diparkir di halaman masjid. Disamping kanan, kiri, dan belakang masjid itu rumah-rumah penduduk dibangun dari kayu, sederhana sekali. Ketika melewati sebuah rumah, terdengar suara anak-anak yang sedang mengaji. Lantang sekali mereka bersuara. Sepertinya sengaja mereka melakukan itu. Seakan-akan supaya Tuhan mendengar dengan jelas. Supaya Tuhan tahu, bahwa mereka, anak-anak itu sangat sayang kepada-Nya. Malaikat dengan sayapnya yang kokoh, membawa alunan ayat suci tersebut, mendekap erat didadanya, melesat ke langit menuju singgasana-Nya. Tuhan Maha Mendengar. Tuhan Maha Mengetahui. Dan Tuhan Maha Penyayang.
Saat aku masih kecil dulu, aku juga melakukan hal yang sama. Aku bersuara lantang saat mengaji. Tapi, semenjak aku beranjak dewasa, suaraku tidak selantang dulu lagi. Bukan berarti aku mengaji dengan lembut. Tetapi aku mengaji dengan hati yang rapuh, semakin aku membacanya, semakin sering aku menemukan jawaban atas semua pertanyaanku, tentang apa yang harus aku lakukan. Dan itu justru membuatku semakin sedih, karena sungguh aku tidak ingin melakukannya. Pelajaran kedua, tidak bisa mengaji dengan suara lantang itu sangat menyedihkan.
“Baba..bababa…baaaa…”
Oh, bapak melihatnya? Aku juga melihatnya. Seorang ibu duduk di pinggir pantai. Mengenakan sarung tenun berwarna gelap. Didepannya, berdiri anak muda menunggu tali pancingnya, menariknya, memasang umpan baru, melempar, menunggu, menarik, dan kulihat ikan menggelepar di kailnya. Si ibu tersenyum bahagia. Tanpa megubah posisi duduknya, terus menunggu, penuh dengan ketenangan. Wajah tenang itu, juga aku dapatkan beberapa hari yang lalu, ketika melintasi pasar. Seorang ibu duduk di tepian jalan. Tangan kirinya memegang payung berwarna hitam. Dibalut dengan sarung tenun ikat. Didepannya, sawi dan bayam diikat menjadi untingan-untingan yang sama ukurannya. Sawi dan bayam nampaknya sudah menyerah dengan teriknya matahari siang itu. Layu. Tetapi berbeda dengan ibu itu. Beliau tetap tenang. Kawan, aku beritahu kepadamu, pelajaran yang ketiga adalah, bersikap tenang tidak akan membuat kita cepat layu seperti sawi dan bayam.
Tetapi ada kalanya kita harus menjadi sawi dan bayam. Gemetar ketakutan. Sedikit banyak aku bisa merasakan apa yang dirasakan oleh sawi dan bayam itu. Tepat tujuh hari yang lalu. Aku naik angkot ke sebuah rumah makan yang letaknya cukup jauh dari kantor sekretariat. Pukul tujuh malam. Jalanan cukup padat. Entah apa yang diminum sopir angkot sebelum mengemudi tadi. Aku duduk tepat dibelakang sopir. Badanku terbanting kekanan saat dia mencoba mendahului kendaraan lain. Tersentak kedepan saat dia berhenti mendadak. Begitu juga saat dia tancap gas, tubuhku seperti ditarik dengan tali tambang kapal ke belakang. Merinding rasanya jika nanti muncul berita dikoran, seorang gadis bernasib tragis di sebuah angkot. Di pulau orang pula. Segera setelah turun dari angkot itu, aku mengumpat sekenanya.
Baiklah, mari kita mencoba mengambil pelajaran dari sini. Pelajaran keempat, hindari menggunakan angkutan kota selama berada di flores, terutama bagi gadis yang baru saja wisuda. Pelajaran kelima, pilihlah rumah makan yang jaraknya tidak terlalu jauh, sehingga cukup dengan jalan kaki. Pelajaran keenam, menjadi sawi dan bayam yang bisa mengumpat itu sangat menyenangkan.
“Baaaabaaaaa….” Bapak tua tertawa lebar. Engkau lucu sekali nak…
Aku hanya sedang mencoba mengambil pelajaran dari setiap kejadian yang aku alami selama disini. Beik itu menyenangkan, maupun tidak menyenangkan. Seperti kejadian Sabtu lalu, yang menurutku menyenangkan, membuatku jatuh cinta pada ketidakteraturan. Beberapa orang teman harus check in pukul tiga sore. Sementara kami baru selesai makan siang pukul tiga kurang lima menit di sebuah rumah makan yang letaknya tidak terlalu jauh dari bandara, namun cukup jauh dari kantor kami. Sementara, setelah makan nanti masih harus kembali ke sekretariat mengambil barang-barang dan menuju bandara. Rasanya menyenangkan ketika seorang teman berkata seperti ini, tenang, waktunya cukup, pasti cukup. Sayangnya, seorang bapak tua, bapak separuh tua dan seorang lagi wanita dewasa kurang bisa menerima kalimat itu, kalimat itu kurang mujarab sebagai obat penenang bagi mereka yang harus check in pukul tiga di bandara. Dan bertambah menyenangkan ketika mobil melaju dengan kencang membuat dedaunan berwarna kuning yang jatuh di pinggiran jalan tersentak kaget dan terbang menepi menyelamatkan diri. Pelajaran selanjutnya, check in di flores adalah dua jam sebelum keberangkatan, bukan satu jam sebelum keberangkatan. Lalu pelajaran ke delapan, aku mulai jatuh cinta dengan ketidakteraturan.
“Babaa…baaa?” Lalu engkau belajar apalagi anakku?
Aku belajar menjadi wanita yang tangguh dari Mama Eta. Suaminya sudah lama meninggal dan belum sempat dikaruniai anak. Tetapi tidak pernah aku melihat guratan sedih selama satu minggu bersamanya. Dia senang tertawa, bercerita, tertawa lagi, bercerita lagi, dan tertawa…
Aku belajar tentang berani mengambil sebuah keputusan dalam hidup dari Mama Rofina. Beliau seorang Katolik. Dulu dia mengambil pilihan untuk tidak menikah, mengabdikan diri sepenuhnya untuk Tuhan yang beliau yakini. Namun sebongkah perasaan cinta, membuat beliau membuat sebuah keputusan yang beliau yakini juga akan membawa kebahagiaan. Aku menyukai beliau. Tutur katanya lembut. Ditambah, beliau selalu mengatakan aku cantik. Dia mengamati saat aku menyelesaikan pekerjaan hingga larut malam. Menurut beliau, orangtuaku beruntung memiliki anak sepertiku. Tetapi aku berani bersumpah, orangtuaku tidak pernah merasa seperti itu. Aku bukan seorang anak yang menyenangkan. Dalam diamku, aku selalu memberontak. Dalam diamku, aku selalu berkata aku sayang ibu. Dalam diamku, aku mengucap seribu maaf kepada ibu. Dalam diamku, aku mencoba mengingat kenangan bersama abah, saat mengajari yuna kecil bersepeda, saat menemaniku berjalan-jalan menyusuri pantai, sepasang kaki kami bercumbu dengan hangatnya pasir pantai. Dan guratan kecewa di wajahnya saat aku mengatakan aku lebih memilih pergi untuk beberapa pekerjaan dibandingkan mengikuti wisuda sarjanaku. Tidak ada kata maaf yang aku sampaikan kepadanya malam itu di meja makan. Aku berusaha keras untuk tidak peduli akan kekecewaannya.
Aku belajar menjadi seorang muslim dari seorang katolik. Oktavianus Eka Chandra. Sebuah rumah panggung yang terbagi menjadi dua kamar. Dia menggunakan salah satu kamar. Dan untuk sementara waktu, selama aku menyelesaikan beberapa pekerjaan disini, aku menghuni kamar disebelahnya. Kami sering berbincang malam hari sebelum tidur. Dinding rumah panggung terbuat dari anyaman bambu, jadi berkata pelan saja, lawan bicaramu akan mendengar dengan jelas dikamar sebelah. Dia senang bermain gitar. Waktu itu aku sedang shalat, dia memainkan gitar dan bernyanyi pelan. Selang beberapa menit, setelah sadar bahwa aku tadi sedang shalat, dia meminta maaf karena tidak menghentikan permainan gitarnya. Saat tidak mendengar aku membaca Al-Quran selepas magrib, dia akan bertanya, kenapa tidak mengaji? Aku menjawab sekenanya, malas. Dan dia tidak menyukai jawabanku itu. Dia juga memilihkan masjid untukku shalat saat kami bepergian ke desa-desa. Menungguku di mobil. Lalu ketika aku bilang, masjidnya aneh, tidak ada jamaah perempuan disana, semua laki-laki. Dia meminta maaf kepadaku. Heh? Kenapa meminta maaf? Menurutnya, dia yang bersalah, tidak tahu bahwa masjid itu tidak ada jamaah perempuan. Kawan, seorang katolik meminta maaf kepadaku karena merasa bersalah memilihkan masjid untukku. Menjadi seorang muslim diantaranya harus penuh pengertian, kaya akan kata maaf, dan rajin mengaji.
Kemudian di danau tiga warna, Kelimutu, aku belajar tentang menerima keadaan dengan ikhlas, karena itu indah, sangatlah indah.
Setelah empat jam perjalanan dari Maumere dan sekitar lima belas menit mendaki. Tiwu Ata Polo. Danau pertama. Mirip dengan sebuah mangkok besar yang dituangkan cat berwarna hijau tua. Kemudian dituangkan lagi cat berwarna coklat tua. Kedua warna itu berpelukan mesra. Kedua warna itu ikhlas berbagi tempat. Kalau tidak salah, warna danau itu sebelumnya adalah merah.
Berjalanlah ke atas puncak. Lima belas menit dari Ata Polo. Dipuncak, engkau bisa menikmati dua danau terakhir. Baiklah, danau kedua. Tiwu Nuamuri Koofai. Danau yang sangat cantik. Berwarna hijau muda. Menyala. Saat gumpalan awan bergerak melintas diatasnya, warnanya menjadi sedikit gelap. Koofai mungkin berkata pada gumpalan awan itu, “Terimakasih kawan, sedikit teduh meskipun hanya sebentar. Terik sekali mentari hari ini”
Hitam. Ditepian ada guratan warna kuning menyala. Tiwu ala Mbupu. Danau ketiga. Kawan, jika engkau sedang patah hati, jangan terlalu lama memandang danau ini jika ke Kelimutu. Suasananya sendu. Entah apa yang membuat danau ini terlihat muram sekali.
Tiwu Ata Polo yang ikhlas berbagi…
Tiwu Nuamuri Koofai yang menyimpan amarah dibalik kecantikannya…
Tiwu Ala Mbupu si pendiam yang muram…
Warna mereka mungkin akan berubah lagi. Aku percaya semua itu terjadi atas kuasa Tuhan. Masing-masing menerima keputusan Tuhan. Tidak pernah membangkang. Mereka adalah danau-danau yang hebat.
“Baaababaaa..baba..” Bapak tua tersenyum. Merasa sudah lelah. Meraih krek dan berusaha berdiri. Berjalan menyusuri lorong jalan. Punggung tua itu menghilang di ujung lorong.
Ah…Bapak tua lebih hebat dari danau manapun. Bapak tuli, namun selalu berada di masjid saat adzan berkumandang. Lebih dulu berada disana dibandingkan dengan aku yang tidak tuli sama sekali. Tetapi lebih sering berpura-pura tuli. Aku mohon ampun kepada-Mu ya Rabb… Bapak tua berjalan dengan terpincang-pincang. Tapi selama dia masih mampu, dia akan berjalan menuju masjid. Sedangkan aku, aku justru berpura-pura pincang dan selalu terlambat menuju panggilan-Nya. Bagaimana jika Tuhan menjadikanku benar-benar tuli? Benar-benar pincang? Apakah aku masih akan melakukan hal yang dilakukan bapak tua? Bagaimana jika aku dibuat bisu? Masih maukah aku berbagi cerita dan tawa dengan orang-orang disekitarku? Seperti yang dilakukan bapak… Aku sungguh tidak sanggup, membayangkannya saja aku tidak sanggup.
Lalu bagaimana jika aku mengalami guncangan hebat dan kehilangan sebagian akal seperti yang dialami ibu gila yang sering aku temui di masjid? Apakah aku masih akan percaya bahwa Allah itu ada? Apakah aku masih mau bersujud kepada-Nya? Apakah aku tidak merasa jijik saat harus bersujud?
Ketundukan seorang muslim kepada Allah Nampak jelas saat dia sujud. Kepala dan muka adalah bagian paling mulia bagi manusia. Bagian yang paling mulia itu harus ditundukkan sepenuhnya dengan keikhlasan kepada Allah.
Lihatlah kawan, Allah telah melakukan sesuatu, yang membuatku bertanya dalam hati, kenapa Allah tega melakukan ini kepada Ibu. Tapi ibu masih bersujud kepada-Nya. Dan dalam sujud beliau berkata, sungguh, aku tidak akan membangkang pada apapun keputusan-Mu, aku ikhlas meletakkan kening dan wajahku di sajadah ini, aku ikhlas…sangat ikhlas…
Ibu yang selalu sujud, bapak tua, temanku eka, mama rofina, mama eta, ibu penjual sawi dan bayam, serta ibu yang duduk di tepi pantai sore itu, bagiku, kalian semua, lebih hebat dari danau manapun.
Maumere, Oktober 2010 Rinduku setengah mati kepada-Mu. Semua yang aku lakukan sampai dengan saat ini, aku mohon ampun kepada-Mu. Dan sakit yang kurasakan, semoga tergantikan dengan kasih yang tak pernah berkurang kepadaku. Ameen…
No comments:
Post a Comment