Profile

My photo
.:muslim.love Allah.love Muhammad saw.love Ibrahim as.indonesian.29 years old.a wife.a mom.love travelling and drawing.wear hijab since 2003:.

Labels

23.5.14

cinta jarak jauh


Tiga tahun,
Tiga puluh enam bulan,
Seribu sembilan puluh lima hari,
Begitu banyak jam, menit dan detik yang terlewatkan.


Adakah yang sama seperti saya? Menjalani pernikahan jarak jauh? Ada yang sudah lebih dari tiga tahun? Bagaimana rasanya?

Tentunya saya tidak sendirian dalam perkara ini. Banyak diluar sana yang menjalani pernikahan jarak jauh dan tentunya banyak alasan mengapa memilih jalan ini.

Saya pribadi, adalah karena memang sedari awal, kami, eh...kami atau saya ya, seingat saya kami :) Jadi kami sejak awal sudah sepakat tidak akan membesarkan anak-anak kami di Jakarta. Dan justru ketika saya memutuskan untuk hijrah ke Jakarta, ternyata saya hamil. Maka, kembalilah saya ke Yogyakarta, demi kebaikan bersama diri sendiri :D

Saya merasakan bagaimana inginnya memanggil suami dan meletakkan tangannya di perut ketika tendangan-tendangan kecil itu datang.

Saya merasakan bagaimana rasanya malam hari pergi ke dokter kandungan seorang diri untuk kontrol rutin keadaan janin, bahkan disaat mendekati hari perkiraan lahir.

Saya merasakan setiap bertemu dengan dokter atau saat di bagian pendaftaran, selalu ditanya dimana suami saya.

Pergi ke dokter anak sendiri, menuntun sepeda motor yang bannya kempes sendiri, sampai mendobrak pintu rumah.

Sekalipun saya tinggal dengan orangtua kandung, tetap saja merasa kurang nyaman. Rasanya durhaka pada mereka. Dari kecil diasuh, dibesarkan, sudah tua seperti ini, sudah punya anak, masih saja merepotkan mereka. Pernah suami menawarkan untuk tinggal bersama kedua orangtuanya, mertua saya. Tapi saya menolak. Bukan karena saya tidak sayang mereka, bukan itu. Tapi memang bukan itu yang saya inginkan.

Paling tidak enak lagi saat hubungan suami istri tidak kondusif. Jadilah jari jemari tangan saya keriting mengirimkan pesan berisi kemarahan ke suami. Sampai suami pernah bilang seperti ini, kamu itu kalau ada yang kurang pas, ngomong langsung saja. Tapi saya tetap teguh pendirian, kirim pesan yang panjangnya minta ampun. Rasanya kalau bicara langsung kok bawaannya malah berurai air mata.

Dan suami. Suami menjadi tidak terbiasa dengan mengasuh anak. Memang bukan kodratnya juga sih. Tetapi ada kalanya saya ingin si kecil "lepas" dari saya untuk beberapa jam saja, hasilnya, nol besar. Melihat teman dan sahabat saya yang mengasuh anaknya bersama-sama, mereka mampu saling mengisi. Anakpun tidak masalah ikut dengan siapa. Memang tidak bisa disamakan juga, karena kondisinya berbeda. Saya ibu rumah tangga tanpa karir diluar sana, jadi yang Ibrahim tahu, saya adalah milik dia sepenuhnya :)

***

Memasuki tahun ketiga pernikahan kami, pertengahan September 2013, suami dipindah tugas. Sepertinya, itu adalah isyarat dari Tuhan agar kami segera berbenah atas rumah tangga yang kami bangun.

Berbenah. Iya berbenah. Terutama saya. Berbenah dalam banyak hal, sebagai istri, sebagai ibu, sebagai perempuan.

Mungkin tidak banyak yang tahu, betapa sulitnya saat itu. Saat dimana saya memutuskan untuk berhenti bekerja, padahal sebenarnya tidak ingin berhenti. Saat dimana saya melahirkan seorang anak, dimana semua waktu saya dirampas olehnya. Saya kehilangan komunitas. Saya kehilangan diri saya sendiri.

Sederhananya seperti ini,
Tidak banyak yang berubah setelah saya menikah. Saya tidak bertemu dengan suami setiap hari. Kami tidak tinggal satu atap. Saya tetap bekerja. Saya justru lebih mudah bertemu dengan teman dan sahabat dibandingkan suami. Saya tidak terbiasa melayani segala kebutuhan suami. Saya hampir sama dengan saya sebelum menikah. Saya melewatkan waktu dan kesempatan menjadi seorang istri. Dan tiba-tiba...saya menjadi seorang ibu.

Dan sejak hari itu, setiap hari saya berusaha untuk lebih melapangkan hati ini. Sudah cukup karir saya diluar sana. Ada yang lebih membutuhkan saya, Ibrahim dan adik-adiknya nanti In Shaa Allah. Meski terkadang, keinginan itu muncul kembali dan saya hanya bisa menitikkan air mata. Tuhan..., Tuhan yang lebih mengetahui apa yang baik untuk hamba. Jauhkan hamba dari keburukan dunia ini.

Saya dengan Anda tidaklah selalu sama. Ada, pasti ada diluar sana yang menikmati sepenuh hati pernikahan jarak jauh mereka, semua baik-baik saja.

Saya juga menikmati. Menikmati ilmu Akuntansi yang dikebiri resep masakan. Menikmati dinginnya dini hari demi membuat persediaan lauk untuk Ibrahim. Menikmati rengekan Ibrahim saat malam sudah larut, sembari membaca artikel tentang anak. Menikmati begitu banyak pertanyaan yang sama dari manusia lain. Memangnya saya bisa apa selain menikmati semua ini?

Sayangnya, saya mulai merasa tidak baik-baik saja berjauhan dengan suami. Apalagi ketika mendengar ada teman yang setia ikut kemanapun suami pergi. Sesulit apapun itu. Gunung akan aku daki. Laut akan aku seberangi.

Jadi,
Ketika memutuskan untuk menjalani pernikahan jarak jauh, banyak hal yang harus dipertimbangkan. Apalagi untuk pasangan yang memiliki paras menawan. Saya yang pas-pasan seperti ini saja, setan datang dan pergi. Eh, bukan, bukan itu sebenarnya. Tapi kembali ke hakikat pernikahan itu sendiri. Akan ada banyak hal, yang terlewatkan, yang pergi begitu saja, tanpa kita tahu apakah akan terulang kembali.

Semoga, tahun ini, Tuhan berkenan memberikan kami kesempatan, agar tidak ada lagi yang terlewatkan. Aamiin...

No comments:

Post a Comment