Profile

My photo
.:muslim.love Allah.love Muhammad saw.love Ibrahim as.indonesian.29 years old.a wife.a mom.love travelling and drawing.wear hijab since 2003:.

Labels

19.4.13

a (happy) motherhood ep.4


Assalamualaikum,

Sudah lama saya tidak menulis disini. Dan mungkin tulisan ini lebih tepat diberi judul a worry motherhood, bukan a happy motherhood. Tulisan ini saya dedikasikan untuk teman-teman yang memiliki bayi laki-laki atau yang akan memiliki bayi laki-laki. Bismillahirrahmanirrahim...


Saya melahirkan baby Ibrahim lima bulan yang lalu di sebuah rumah sakit Islam swasta. Dan kekecewaan saya sudah dimulai sejak proses persalinan selesai. Selesai baby Ibrahim dibersihkan, perawat tidak segera memberikan baby Ibrahim kepada saya untuk menyusu langsung pada ibunya, itu yang pertama. Kedua, untuk dapat satu ruangan dengan anak saya, saya harus menandatangani sebuah surat perjanjian, yang berisi tentang segala resiko yang harus saya tanggung sendiri. Ketiga, untuk dapat satu ruangan dengan anak saya, hanya tersedia kamar dengan kondisi yang pas-pasan. Keempat, mereka memiliki koleksi susu formula yang beraneka macam seperti di supermarket. Menurut saya itu agak berlebihan. Bukankah bayi yang baru lahir dapat bertahan selama tiga hari tanpa diberikan ASI karena masih terdapat cadangan makanan? Pihak rumah sakit pun tidak memberitahukan hal ini. Akibatnya, ibu-ibu yang beberapa jam setelah melahirkan ASInya belum keluar dan tidak tahu bahwa bayi mereka mampu bertahan hingga tiga hari, menjadi galau segalaunya. Susu formula tiba-tiba menjadi malaikat bersayap :D

Akhirnya, saya mengurungkan niat untuk bisa satu ruangan dengan Ibrahim. Setiap tiga jam sekali, sesuai dengan jam laktasi yang ditentukan oleh rumah sakit, dari lantai dua saya menuju lantai dasar. Suami membantu saya duduk di kursi roda dan menuju lantai dasar. Perihnya bukan main untuk duduk seperti itu. Berjalan pun sama rasanya. Kabar baiknya, hanya tiga malam saya berada di rumah sakit itu.

Ibarat sinetron, kekecewaan saya ternyata berlanjut ke episode berikutnya. Sepuluh hari setelah melahirkan, saya dijadwalkan untuk bertemu dengan dokter spesialis anak di rumah sakit itu. Ibrahim ditimbang (tanpa dilucuti pakaiannya) dan diperiksa ala kadarnya. Dan ketika Ibrahim berumur satu bulan, saya kembali membawanya untuk imunisasi, pun masih sama, hanya diperiksa ala kadarnya.

Saya mengungkapkan rasa kecewa pada Bu Jenderal, ibu saya. Sebenarnya dari awal beliau sudah memberi saran untuk ke dokter spesialis anak yang lain, dokter Sunartini Iman. Seorang dokter anak yang sudah bergelar Profesor dan kabarnya galak luar biasa. Saya dan adik saya, dari bayi dengan dokter Sunartini. Mungkin karena sama-sama galak, Bu Jendral betah-betah saja dengan beliau :D Karena hanya Bu Jenderal yang bisa bertahan dengan beliau, sementara itu bulik atau budhe keluarga kami banyak yang tumbang di tengah jalan :D Seorang ibu yang membawa bayinya kesana, bukan hanya bayinya yang diperiksa, tetapi juga ibunya. Sampai diminta untuk membuka baju dan diperiksa apakah payudaranya memiliki ASI yang berkualitas.

Saya bukannya takut dengan beliau :D Tetapi karena prakteknya dibuka malam hari dan bisa sampai larut malam karena antrian yang sangat panjang, saya mundur teratur saja. Mencari dokter yang praktek pagi atau siang hari. Pilihan saya jatuh pada dokter Elisa yang lokasi prakteknya juga di kawasan Kotagede. Beliau adalah dokter spesialis anak di RS Sardjito (by call) dan RS JIH.

Baby Ibrahim tepat berumur dua bulan. Dokter Elisa melucuti pakaian Ibrahim. Telanjang bulat lalu ditimbang. Setelah itu, masih dalam keadaan telanjang, dokter Elisa mulai memeriksa mata, hidung, mulut. Lalu dengan sebuah alat memeriksa telinga bagian dalam. Mengukur lingkar kepala. Dilanjutkan dengan perut, alat kelamin, punggung dan anus. Sembari meluncur beberapa pertanyaan untuk si Ibu.

Nah, dari hasil pemeriksaan beliau lah saya tahu bahwa kantong dibawa penis Ibrahim itu terlalu banyak cairannya. Sampai Ibrahim berumur empat bulan, belum ada perkembangan. Kondisi kantong yang cairannya terlalu banyak, akan mempengaruhi tingkat kesuburannya kelak karena testis tidak dapat turun dengan maksimal. Penanganan masalah seperti ini, dapat dilakukan pada usia 6-12bulan. Apabila dilakukan setelah itu, hasilnya tidak dapat maksimal. Saya bersyukur sekali dipertemukan dengan dokter cantik ini. Entah apa jadinya apabila saya masih bertahan dengan dokter di rumah sakit sebelumnya :( Untuk itu, pastikan dokter si kecil adalah "si teliti". Apalagi jika kita bukan orang yang memiliki latar belakang dunia kesehatan. Karena pada awalnya pun, saya merasa semua baik-baik saja. 

Dan kemarin, ketika saya membawa Ibrahim untuk vaksin pneumokokus kali kedua, menurut dokter Elisa, cairannya sudah agak berkurang. Testis sudah terlihat meskipun posisinya masih agak diatas, belum turun secara maksimal. Saya dirujuk ke dokter spesialis bedah anak untuk konsultasi lebih lanjut.

Lega. Meskipun belum sepenuhnya :) Saya melalui bulan-bulan kemarin dengan tidak mudah. Berurai air mata saat bercerita pada suami. Membayangkan nantinya seperti apa rasanya tidak siap. Apalagi dengan kondisi yang berjauhan seperti ini. Untuk menulis berbagi cerita seperti ini pun rasanya belum sanggup. Saya berusaha untuk tetap fokus. Saya harus membagi tulisan ini.

Semoga tulisan saya ini bermanfaat. Usaha manusia tidak ada batasnya. Menemui dokter spesialis anak itu penting, SANGAT PENTING. Dan memilih dokter spesialis anak yang BERKUALITAS itu LEBIH PENTING.

Sekian :) Sudah pukul dua dini hari, Ibrahim juga sudah bangun :)
Sampai jumpa lagi. Mohon doanya :)

2 comments:

  1. sabar ya yuna...pasti kuat....peluk cium tuk baim..

    ReplyDelete