Pukul 23.23 wib
Ibrahimku
sedang tertidur pulas. Mataku belum dapat terpejam. Lebih baik aku menulis.
Sabtu,
10 November 2012
Pukul 01.00 wib
Aku
merasakan kontraksi untuk pertama kalinya. Perut terasa kencang, terjadi hanya
dalam hitungan detik, lalu menghilang. Satu jam kemudian, aku kembali
merasakannya. Dan terulang lagi pada pukul tiga dini hari.
Tepat
ketika adzan subuh berkumandang, keluar cairan seperti lendir yang bercampur
darah. Tidak boleh panik, kataku dalam hati. Sudah dekat waktunya, semua akan
baik-baik saja.
Kontraksi
semakin sering kurasakan. Mulai dari tiga puluh menit sekali, lima belas menit
sekali, hingga sepuluh menit sekali. Aku tidak dapat berbohong, bahwa aku mulai
khawatir. Belum lagi pilihan rumah sakit tempat bersalin belum aku pastikan.
Ibu Jendral nampaknya juga mulai ikut khawatir.
“Ibu
telpon Mbak Indah ya, biar kesini. Biar dilihat pembukaan berapa.” Mbak Indah
itu anak Budhe yang berprofesi sebagai Bidan.
“Terserah
Ibu.”
Tidak
lama, Mbak Indah datang.
“Bagaimana
Mbak rasanya?”
“Kontraksinya
sudah sering Nok.”
“Banyak
dipakai jalan-jalan sama tidur miring ke kiri Mbak. Tapi perkiraanku itu masih
lama. Soalnya kan anak pertama Mbak.”
Dan
akhirnyaaaaa…kami berdua malah asyik ngobrol. Aku lupa akan si kontraksi dan
Mbak Indah pun juga tidak jadi melihat aku sudah pembukaan berapa :D
Lepas
adzan Maghrib, rasa sakit sudah tidak tertahankan. Pak Jendral yang terlihat
paling heboh. Malah seperti istrinya saja yang mau melahirkan :D Sementara kami
dalam perjalanan ke rumah sakit (Aku putuskan memilih rumah sakit yang sama
sekali tidak memiliki rekam medis kehamilanku, rumah sakit yang bukan dirujuk
oleh dr.Anisah ), Hubby juga sedang dalam perjalanan menuju Yogyakarta dengan
kereta api. Kereta api yang dia tumpangi adalah kereta dengan tujuan akhir
Solo, karena tadinya Hubby dengan beberapa rekan kerjanya akan menghadiri
pernikahan seorang teman di daerah Boyolali esok hari :D
Pukul 19.00 wib
Ruang
Instalasi Gawat Darurat.
“Mbak
belum pernah sama sekali periksa disini?” tanya seorang Bidan padaku.
“Belum.”
“Posisi
bayi terakhir bagaimana?”
“Sudah
siap lahir. Posisi normal.”
“Posisi
plasenta tidak menghalangi jalan lahir?”
“Insya
Allah tidak. Semua normal.”
“Baik.
Saya lihat pembukaannya dulu ya…”
…
……
………
Pembukaan
1.
Pukul 23.00 wib
Kamar
Muzdalifah No.11
Aku
mulai merasakan sakitnya kontraksi. Bu Jendral tidak berhenti menuntunku
berdzikir dan mengelus punggungku yang terasa panas.
…
……
………
Pembukaan
2.
Minggu,
11 November 2012
Pukul 03.00 wib
Pembukaan
4.
Rasa
sakit semakin bertambah. Aku dibawa menuju ruang bersalin. Hanya ada Bu Jendral
dan tirai berwarna hijau tua disekelilingku. Ah…kenapa harus hijau tua
warnanya. Kenapa tidak merah muda yang ceria atau biru langit yang damai. Masih
sempat mengomentari warna tirai ruang bersalin :D
Entah
pukul berapa Hubby datang menggantikan Bu Jendral. Mungkin sekitar pukul tujuh.
Ah…tampannya suamiku, batinku. Mengenakan kemeja lengan panjang (aku yang
memilih kemeja itu dulu :p ) dan celana jeans. Tetapiiiii…mau setampan apapun
suamiku, kontraksinya tetap sakiiiitttttt.
Pukul
10.00 wib
…
……
………
Pembukaan
8.
Berdasarkan
perintah dr.Addin via telepon kepada bidan, aku harus dipacu dengan infus. Yang
dipasang pertama adalah infus biasa, tanpa obat pacu didalamnya. Infus yang
kedua, infus dengan obat pacu didalamnya. Konon, katanya, pacuan dengan
menggunakan infus, sakitnya luar biasa. Dan itu betul. Janin seperti meronta
ingin keluar tetapi aku tidak diperbolehkan untuk mengejan karena pembukaan
belum sempurna. Kalau sampai aku mengejan, akan menyebabkan jalan lahir bengkak
dan itu berbahaya untuk bayiku. Hubby terus mengingatkanku agar tidak mengejan.
Aku hanya diperbolehkan mengambil nafas panjang melalui hidung dan
mengeluarkannya lewat mulut. Sederhana bukan? Tetapi tidak sesederhana itu,
karena infus berisi obat pacu mampu mengacaukan konsentrasiku.
Pukul
11.00 wib
“Masih
bertahan di pembukaan delapan Dok.”
Aku
berusaha menyimak pembicaraan bidan via telepon dengan dr.Addin.
“Ketuban
juga belum pecah.”
…
“Begitu
ya Dok?”
…
“Baik
Dok. Jadi kita tunggu, kalau tidak ada perkembangan, jam dua kita lakukan cesar
ya Dok?”
…
“Baik
Dok.”
Mendengar
kata cesar, aku semakin kacau. Bukankah wajar jika prosesnya lama, ini anak
pertamaku. Tapi mungkin memang terlalu lama. Hampir 36 jam. Hubby merasakan apa
yang aku rasakan.
“Jangan
terlalu dipikirkan Dek. Kamu pasti bisa melahirkan normal. Dan kalaupun harus
cesar, tidak apa-apa. Yang penting semuanya selamat.”
Aku
hanya menggeleng dan berusaha sekuat mungkin menahan air mataku. Aku ingin
melahirkan normal. Normal.
Pukul
11.30 wib
“Mbak
sudah ingin mengejan?”
“Sudah.”
“Dokter
Addin saat ini sedang melakukan operasi cesar. Mbak bersedia dibantu oleh bidan
saja?”
“Tidak
apa-apa.” Memangnya aku punya pilihan lain, batinku.
Ketubanku
belum pecah. Tetapi sudah ingin mengejan. Bidan merobek kantong ketubanku dan
mulai memberikan perintah untuk mengejan ketika kontraksi datang. Aku yang
belum paham betul bagaimana cara mengejan, melakukan kesalahan ketika kontraksi
pertama setelah ketuban pecah. Seharusnya mengambil nafas sebanyak mungkin
(nafas perut) dan membuangnya dengan mengejan. Aku justru mengambil nafas dan
kemudian membuangnya lewat mulut, seperti orang senam. Bodoh :D
Kemudian
aku mulai mengejan yang seharusnya. Bidan-bidan muda dan Hubby terasa seperti
pemandu sorak.
“Ayo-ayo…rambutnya
sudah terlihaaaaaat.”
“Ambil
nafas yang banyaaaaakkkk….”
“Mengejannya
pas di titik ini, jangan di titik yang laiiiinnnn…”
“Lebih
banyak lagi mengejannya. Jangan hanya tiga kaliiiii……”
“Ayo
teruuuusss……iya-iya pintar…pintaaarrrrr…”
Jujur
saja, terasa menyebalkan sebenarnya. Mereka-mereka ini belum pernah merasakan
melahirkan sama sekali (apalagi Hubby), tetapi pandai memberikan perintah.
Menyebalkaaannn… !!!
Pukul
12.00 wib
“Mbaaaaakkkkk……laki-lakiiiiiiiiiii…”
Nah
kan, heboh lagi. Tadi sebelum melahirkan memang sempat ditanya hasil USG. Aku
bilang perempuan. Dan sekarang bidan-bidan itu heboh melihat anakku ternyata
laki-laki.
“Laki-laki
Dek. Ternyata pendulumnya yang betul” kata Hubby.
No comments:
Post a Comment