Tulisan ini bukan ceramah agama kawan, jadi tenang saja. ini tulisan seorang anak manusia yang terzalimi. Berlebihan… Baiklah, seorang anak manusia yang tersakiti. Hahaha…berlebihan juga. Begini saja, ini tulisan seorang anak manusia seusai shalat subuh dan enam puluh menit lagi harus bersiap-siap berangkat ke kantor.
Yang saya alami ini, belum seberapa dibandingkan dengan perempuan-perempuan muslim yang harus berjuang keras saat memutuskan mengenakan jilbab. Seperti baru-baru ini, seorang perempuan muslim yang tinggal di negara lain (menurut orang negara ini demokratis, tetapi tidak penduduknya), memperkarakan seorang lelaki ke pengadilan karena dianggap melakukan pelanggaran hukum. Lelaki tersebut meneriakkan kata-kata teroris kepada si jilbab pada saat berjalan didepannya. Perempuan berjilbab itu menang di pengadilan. Lalu apa masalahnya? Setelah pengadilan memutuskan dia menang, dia harus mati ditangan lelaki biadab itu. Beberapa peluru menembus tubuhnya tidak lama setelah hakim memutuskan lelaki itu bersalah. Bagaimana bisa lelaki itu membawa senjata? Siapa yang bertanggungjawab? Kita serahkan saja kepada inspektur kawan (seperti di film India).
Pertama kali saya memutuskan berjilbab adalah ketika akan masuk perguruan tinggi. Bukan karena perguruan tinggi saya beragama “islam”. Sengaja saya tidak masuk perguruan tinggi yang beragama “islam” karena saya tidak suka paksaan. Yang jelas paksaan berjilbab pada saat kuliah. Diluar jam kuliah ya terserah, menanggalkan jilbab tidak masalah. Saya memilih perguruan tinggi yang beragama “apa saja”. Lalu mengapa saya mengenakan jilbab? Alasannya adalah karena saya tidak mau pada saat opspek (betul tidak penulisannya? saya sudah lupa) rambut saya menjadi korban keganasan tali raffia atau pita yang warnanya ngejreng dan tidak cukup satu warna. Mengerikan sekali. Jadi, alangkah baiknya jika saya mengenakan jilbab untuk sementara waktu. (Tuhan, ampuni dosa saya yang satu dari sekian banyak dosa ini…)
Ternyata saya salah. Tidak ada tali raffia. Tidak ada pita warna-warni. Selama beberapa hari, kami dididik untuk menjadi seorang anak manusia yang berpandangan dan berwawasan luas. Kami diberikan tugas mencari berita bahasa inggris lalu menerjemahkannya. Menggambar logo akademi lalu mengartikannya (ini yang paling saya suka). Lalu berbelanja beberapa bahan pangan yang nantinya akan disumbangkan ke saudara-saudara kita yang membutuhkan.
Setelah satu minggu, saya justru enggan melepas jilbab. Saya mulai merasakan nyaman. Lucu rasanya kalau ingat seperti apa saya mengenakan jilbab waktu itu. Kerudung miring ke kanan dan kekiri. Baju yang “aneh” (waktu itu saya masih cukup senang memakai kaos yang ketat). Sedikit norak dan menyedihkan.
Akhirnya setelah dua tahun, saya menyelesaikan pendidikan diploma tiga. Saya masih ingat wisuda tanggal 24 September 2005. Dan di akhir bulan November tahun yang sama, saya diterima bekerja di sebuah perusahaan swasta. Saat itu saya bersaing dengan rekan-rekan kuliah saya sendiri.
Fabiayyikumatukadhdzibaan… (dan nikmat Tuhan yang manalagi yang kamu sembunyikan?)
Setelah bekerja, saya lebih rapi dalam berjilbab. Meskipun masih sedikit norak.
Merasa jenuh dengan pekerjaan kantoran, saya mulai mencoba mencari pekerjaan baru. Tanggal 1 Maret 2007, saya diterima bekerja di sebuah LSM sebagai staf recovery pasca bencana Tsunami di Meulaboh, Aceh. Segera saya mengundurkan diri, tentu saja dengan sangat terhormat, dari perusahaan lama tempat saya bekerja.
Fabiayyikumatukadhdzibaan… (dan nikmat Tuhan yang manalagi yang kamu sembunyikan?)
Nah, mulai saat itulah saya mulai mengenakan baju panjang atau gamis. Dan alasannya adalah saya tidak mau terlalu repot mengurusi baju. Gamis cukup mudah dicuci dan dipakai. Sekali pakai badan terbungkus rapat.
Karena pakaian saya yang panjang seperti itu, orang-orang disana lebih sering mengira saya adalah orang Aceh. Hei…saya bukan orang Aceh, saya orang Banjar.
Tanggal 30 Agustus 2008. Kontrak saya selesai. Kembali ke Yogyakarta dan memenuhi janji saya untuk melanjutkan kuliah.
Setelah satu semester saya berstatus sebagai mahasiswi, LSM tempat saya bekerja dulu kembali menawarkan pekerjaan. Staf keuangan di kantor pusat. Tanggal 27 April 2009 saya bekerja part time. Lembaga mungkin memperkerjakan saya kembali karena malas mencari orang baru. Tetapi apapun alasan lembaga, menurut saya ini adalah jalan Gusti Allah.
Dan sekali lagi,
Fabiayyikumatukadhdzibaan… (dan nikmat Tuhan yang manalagi yang kamu sembunyikan?)
Lalu, apa sebenarnya yang ingin saya sampaikan disini? Apa hubungannya dengan perempuan berjilbab yang tewas ditembus peluru diatas?
Pertama,
Pernah melihat film My Name is Khan? Ada dialog adik ipar Khan dalam film tersebut yang menyatakan bahwa “Saya berjilbab karena saya percaya Dia ada”. Kalimat itu saya artikan seperti ini. Dalam Islam, jilbab adalah kewajiban bagi setiap muslimah, seperti tertulis dalam Al Ahzab dan An Nur. Al Ahzab dan An Nur adalah surah dalam Al Quran, firman Allah. Saya mengimani Al Quran. Saya mengimani Allah. Iman arti sederhananya adalah percaya. Saya percaya Al Quran adalah firman Allah. Al Quran ada, karena Allah ada. Dan karena saya percaya Allah ada, maka saya belajar menjalankan salah satu perintahnya, yaitu berjilbab.
Kedua,
Apa yang dialami perempuan diatas, hendaknya menjadi cambuk (untuk saya, untukmu juga boleh kalau mau) dalam mempertahankan sebuah prinsip yang kita yakini. Agama. Bahwa Islam adalah rahmat bagi semesta alam. Islam itu penuh dengan kelembutan. Islam itu adalah perempuan berjilbab yang tewas ditembus peluru diatas (bukan berarti kita juga harus mati ditembus peluru).
Ketiga,
Percaya dengan sepenuh hati bahwa jilbab tidak menghalangi rezeki seseorang. Perusahaan pertama tempat saya bekerja adalah milik seorang Nasrani. Dan yang kedua, tempat saya bekerja hingga sekarang ini adalah sebuah lembaga yang bernaung dibawah yayasan Kristen. Seandainya ada perusahaan tidak bisa menerima perempuan berjilbab, cobalah tengok kembali, mungkin jilbab kita norak, tidak matching, semrawut, atau mungkin bau badan kita karena salah dalam memilih bahan jilbab sehingga tidak mudah menyerap keringat. Nah, jika sudah terbukti tidak ada yang salah dengan jilbabmu, perusahaan itu masih tidak bisa menerima kehadiran kita, ucapkan umpatan-umpatan secukupnya (maksud saya, secukupnya dalam hati saja), tersenyum, lalu tinggalkan perusahaan itu tanpa air mata.
Saya bisa bergabung dengan LSM untuk recovery Aceh mungkin karena saya berjilbab. Lebih mudah membaur dengan masyarakat disana karena saya muslim, berjilbab, ramah, baik hati dan rendah hati (ceileeehhhh…).
Tetapi berbeda 137 derajat, ketika saya mengajukan menjadi staf untuk program di Papua. Papua, tidak biasa dengan perempuan memakai “taplak” seperti saya. Mereka tidak terbiasa dengan perbedaan dan “simbol agama” Islam. Kecewa? Iya, sedikit. Tetapi tidak mengapa, ini demi keselamatan saya juga.
Lalu jenjang karir yang tidak terlalu menjanjikan... Kecewa? Tidak. Karena menurut saya, yang penting adalah tetap bekerja bukan pekerjaan tetap.
Belum lama ini, ketika saya tidak diikutkan dalam sebuah pelatihan yang diadakan oleh kantor. Alasannya adalah karena tempat pelatihan tidak bisa menerima perempuan berjilbab. Muslim yang terlalu menampakkan ke-Islam-annya. Lalu disusul dengan alasan-alasan lain yang tidak menyangkut dengan jilbab. Memerlukan waktu berhari-hari bagi saya untuk merenungkan ini. Bahkan sampai hari ini. Sempat terlintas di pikiran saya untuk mengundurkan diri karena sakit hati yang teramat sangat.
Saya mengenakan jilbab bukan karena ingin disebut sebagai orang suci.
Saya mengenakan jilbab bukan untuk memusuhi orang yang tidak seagama dengan saya.
Saya mengenakan jilbab karena saya percaya Dia ada.
November di Yogyakarta
Rabb, tenangkan hati hamba…
No comments:
Post a Comment