Hoooaaaaaheeemmm…mataku masih berat. Diluar juga masih gelap. Dingin. Sayup-sayup aku mendengar adzan subuh. Suara langkah kaki tergesa kurasakan di tubuhku. Kurasakan bau tajam dihidungku. Keranjang-keranjang lusuh dilemparkan. Hei…pelan-pelan…! Sakit…! Selalu seperti ini. Tidak bisakah kau meletakkan segala sesuatu dengan pelan? Tubuhku sedikit limbung. Sebentar lagi, ketika mesin tua itu dihidupkan, tubuhku akan bergetar…bergetar…bergetar…dan setelah itu berjalan.
Hampir setiap hari aku bertanya pada mesin yang hebat itu, bagaimana bisa tubuhnya yang kecil mampu mengajakku mengarungi lautan. Tubuhku jauh lebih besar dibandingkan dia. Tapi dia juga tidak mengerti bagaimana bisa mendapat kekuatan super itu. Manusia yang melakukannya. Manusia hebat sekali pikirku. Manusia membuat mesin itu. Manusia juga yang membuatku.
Manusia. Yang membawaku berkeliling lautan. Yang mengajakku melihat ribuan ikan. Pernah melihat bintang? Ya…seperti itu. Dari kejauhan nampak seperti gugusan bintang. Tapi mereka bergerak. Berkelompok. Ya…betul…seperti bintang jatuh. Yang membersihkan tubuhku setelah selesai berkeliling. Yang selalu ramai di pasar ikan. Yang mengganti kulit tubuhku dengan kulit coklat baru saat mulai keropos. Yang selalu berdiri tenang di atas selembar kain yang dihamparkan diatas tubuhku, lalu bersujud dan mengulangnya beberapa kali. Teman-temanku bilang itu adalah shalat. Manusia berkomunikasi dengan yang membuatnya. Aku tidak mengenal-Nya. Mungkin yang membuat manusia juga sama dengan yang membuat ikan. Lautan. Aku juga pernah melihat pohon. Mungkin juga sama.
Mesin tua terbatuk-batuk. Ah…engkau memang sudah sangat tua. Tidak ada tua dan muda disini. Mungkin engkau akan mati terlebih dahulu. Tetapi bisa jadi kita akan mati bersama saat digulung ganasnya gelombang laut. Kita tidak pernah tahu.
Tidak ada yang tahu apakah nanti manusia berkulit hitam legam itu nanti masih akan merapatkan tubuhku ke dermaga ini. Tidak tahu apakah nanti aku masih bisa mendengar mesin tua terbatuk-batuk. Dan juga, tidak ada yang akan pernah tahu aku masih bisa bersandar di dermaga sore nanti.
Bulan ini berjalan teramat lambat. Sampai penuh kepalaku dengan kejadian-kejadian di bulan ini.
Babababaaaa…baa…. Bapak bisu setengah berteriak ketika melihatku masuk halaman kantor hari minggu lalu. Baaaa..baba..huh?
Bapak duduk dikursi kayu. Berkalung sarung. Bapak, bagaimana kakimu? Aku menunjuk kearah kakinya. Mengambil tempat duduk tepat disampingnya.
Ba..bababa…babaa… tangannya bergerak-gerak, mengatakan kepadaku bahwa tulangnya bermasalah. Sambungan pada tulangnya terbuka. Kakinya menghitam. Bentuknya juga semakin tidak wajar menurutku.
Ke rumah sakit.
Babaa..huh..huh..! Tangannya berkata tidak mau.
Biar cepat sembuh.
Tangannya melotot kepadaku. Tidak mau!
Ya sudahlah.
Kami duduk bersebelahan. Pagi itu kantor masih lengang. Wangi tanah. Udara membelai wajah kami. Aku menatap wajah tua Bapak bisu. Mata kami bertemu.
Beberapa hari yang lalu Abah ulang tahun. Tidak ada ucapan selamat yang aku berikan kepadanya. Setahun yang lalu, aku memberinya ucapan selamat. Melalui pesan pendek. Tinggal serumah tetapi aku tidak mengucapkannya secara langsung. Abah membalas pesan singkatku itu.
Terimakasih mbak. Terimakasih atas doanya. Semoga Abah bisa menjadi ayah yang baik untuk kalian semua.
Aku mengamini. Dadaku sesak.
Yuna kecil pernah mencoba tinggal di rantau. Tempat abah mengajar. Di sebuah pelosok di Kalimantan. Ibu ingin mendampingi Abah. Tetapi tidak bertahan lama. Abah meminta kami kembali ke Yogyakarta. Kehidupan di pelosok sulit. Tidak baik untuk perkembanganku. Yuna kecil memeluk boneka lusuh di atas kapal laut. Mata Ibu sembab. Abah mengatakan sesuatu pada Ibu. Yuna kecil tidak mengerti kata-kata orang dewasa.
Abah yang mengajari aku naik sepeda. Ketika aku menjadi korban ke-Muhammadiyah-an Ibu. Sekolah taman kanak-kanak Muhammadiyah itu cukup jauh. Sepeda bekas yang dibeli oleh ibu ukurannya lebih besar dari tubuhku. Supaya awet, begitu kata Ibu. Yuna kecil lihai bersepeda. Mengabaikan lecet-lecet di kaki karena bebatuan saat terjatuh di tanah.
Hari pertama masuk sekolah taman kanak-kanak. Yuna kecil menangis karena ibu bermaksud meninggalkanku setelah bel masuk berbunyi.
Lihat teman-temanku yang lain Ibu… Ibu mereka menunggui, sampai sekolah selesai. Kenapa Ibu tidak melakukannya? Aku ikut pulang bersama Ibu. Aku tidak mau sekolah.
Aku memasuki rumah. Dibalut seragam baru berwarna hijau tua. Mataku sembab. Abah pasti iba melihatku. Lalu akan memarahi Ibu karena tidak mau menungguiku sampai bel pulang nanti.
Sekarang pilih! Kembali ke sekolah atau tidak akan pernah sekolah seumur hidupmu!
Aku anak semata wayang saat itu. Mata sembab. Sesenggukan menangis. Abah tega sekali. Engkau hanya pulang setiap liburan sekolah dan hari raya. Kenapa tega memarahi Yuna kecil?
Lalu ketika ada lelaki yang hendak meminangku. Tidak banyak yang engkau katakan padanya.
Selesaikan dulu kuliahmu!
Abah seorang pendidik. Abah menghormati pendidikan. Abah pernah merasakan susah saat harus menghidupi istri dan Yuna kecil saat masih kuliah. Maafkan Abah. Rupiah yang Abah kumpulkan setiap bulan engkau tahu berapa jumlahnya. Tidak mampu Abah membayangkan saat engkau menikah nanti, masing-masing masih menuntut ilmu, lalu engkau hamil, Abah tidak mampu memberikan sekeping logam kepadamu.
Akulah kapal itu. Mesin tua itu adalah ibu. Tersimpan kekuatan luar biasa didalamnya. Mengatakan kepadaku betapa indah dunia diluar sana. Manusia hitam legam itu adalah Abah. Mewariskan semangat dan keberanian untuk pergi melihat dunia diluar sana kepadaku.
Akulah kapal itu. Kapal yang merindukan dermaga.
Yogyakarta, minggu terakhir di bulan November yang berjalan teramat lambat…
Selamat ulang tahun Abah… Selamat hari Guru…
Dermaganya siapa Monn????
ReplyDelete(-_-)
Rahasiaaaahhhhh... ^^
ReplyDeletehuahhhh....Pelittttt......
ReplyDeleteGrrrrr.....!!!!!!
Kalo pelit ntar dihukum lho...!!!!
aaa....aaaaaaaaa.....aaaaaaaaaaaaaaaa... ^^
ReplyDeletemana siniiiii........
ReplyDelete(^_^)
hehehehehehe....