Pukul dua pagi. Terbangun dari tidur karena kedinginan. Saya lupa menutup jendela kamar. Padahal tadinya saya berharap ada pangeran berkuda datang, lalu menyelinap melalui jendela kamar saya tanpa menemukan kesulitan sedikitpun, membangunkan saya dengan kecupan di kening (tetapi kemudian urung karena ingat bukan mukhrim), lalu mengajak saya ke Kantor Urusan Agama. Tidak lupa saya membawa serta komputer jinjing (yang baru memasuki angsuran ke dua belas) agar tetap bisa posting tulisan saya ke blog setiap hari. Tersenyumlah kawan, sedikit saja. Berikanlah senyummu..
Saya melangkahkan kaki mendekati jendela. Tiba-tiba…
Mbeeeeeeeeeeekkkk…eeeeemmmmmbeeeeeeeeeeeeeeeekkkk….!!! Kambing peliharaan abah tiba-tiba mengembek tanpa saya tahu apa alasannya. Lagipula saya tidak terlalu peduli dengan alasannya. Jujur, saya agak membenci kambing itu. Cerewet sekali dan senang membuat onar.
Urung saya menutup jendela. Membiarkan angin masuk dan membelai wajah saya. Di sudut meja, sebuah album foto tertidur pulas. Saya mengambilnya perlahan. Ahh…dia terbangun. Tersenyum dan membiarkan saya membuka halamannya satu per satu. Dan tiba dihalaman terakhir, saya melihat sebuah foto.
Pengorbanan. Ya, pengorbanan.
Demikian juga makna Idul Adha bagi saya pribadi adalah pengorbanan. Pengorbanan dari seorang teladan yang paling agung, sikap berserah diri yang total, kesabaran dalam menjalankan perintah Allah, taat kepada Yang Maha Kuasa meski nyawa menjadi taruhan. Pengorbanan seorang Ibrahim atas nyawa anak kesayangan yang telah diidamkannya dan baru beliau peroleh setelah berusia 80 tahun, tanpa mengesampingkan musyawarah meski dalam hal yang sudah jelas merupakan perintah Allah.
Rasa sayang sang ayah, Ibrahim tidak diragukan lagi, namun rasa sayang itu tidak menghalangi dari ketaatan kepada Allah. Pengorbanan Ibrahim kemudian Allah jadikan syari’at bagi hamba-hamba-Nya setelah beliau ‘Alaihissalam.
Ibunda Ismail, Hajar, seorang ibu yang berjuang demi kehidupan anaknya. Sungguh besar kasih dan sayangnya kepada suami dan anaknya. Namun hal itu juga tidak menghalangi ketaatannya kepada Allah.
Ibu penjual minuman meneladani Hajar. Berjuang demi kehidupan anaknya. Pengorbanan berada di bawah terik matahari sepanjang hari. Bakul dagangan dan tangannya penuh dengan minuman, namun beliau menahan dahaga yang teramat sangat.
Para ibu bersarung kain songket dipasar Waiara, Flores. Jeli mengumpulkan rupiah dari sayur-sayur dagangannya.
Bapak bisu. Yang lebih memilih hidup sendiri karena kondisi fisiknya yang menyulitkan dia bekerja. Bagaimana jika dia meminang seorang perempuan menjadi istrinya dan memiliki keturunan? Tuhan memang yang mengatur rezeki seorang hamba-Nya. Tetapi perlu diingat, Tuhan tidak akan mengubah nasib seorang hamba-Nya apabila hamba itu tidak berusaha mengubah nasibnya.
Jumat lalu saya bertemu dengannya. Mengenakan baju koko putih dan sarung berwarna senada. Berjalan bersama krek penyangga. Dia masih sempat menyapa saya. Menangkupkan kedua tangannya didada, itu artinya beliau akan shalat kawan. Saya sempat melihat kakinya sebelum tertutup sempurna oleh kain sarungnya. Bentuknya semakin mengecil dan semakin membengkok ke dalam. Rasa nyeri yang beliau rasakan tidak menyurutkan langkah kaki untuk bertemu dengan Tuhannya. Krek penyangga berwarna silver itu menatap tajam. Tertuju kepada saya. Kemana kaki sehatmu saat adzan berkumandang?
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkurbanlah. Al Kautsar 1-2
Lalu orang Islam yang melakukan aksi bom bunuh diri. Apakah itu suatu pengorbanan? Kalau saya boleh berpendapat, itu bukan merupakan suatu pengorbanan. Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Bismillahirrahmannirrahim. Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Islam adalah agama yang penuh dengan kasih dan sayang. Apabila kita berazzam (berniat) membela saudara-saudara kita yang terzalimi, pergilah ke Palestina. Anak-anak berbekal batu melempari tentara Israel yang biadab dengan tangan kecil mereka. Itu bukti kecintaan mereka terhadap Allah, ibu, ayah dan negara mereka.
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapainya… Al Hajj 37
Saya mencoba mengingat “pengorbanan” dalam kehidupan saya pribadi.
Saya adalah “korban” ke-Muhammadiyah-an ibu. Kejadian ini ketika saya berumur lima tahun. Ketika itu, ibu Muhammadiyah sekali. Tidak jauh dari rumah saya, ada taman kanak-kanak negeri. Tetapi ibu tidak mendaftarkan saya di taman kanak-kanak tersebut. Ibu justru mendaftarkan saya di taman kanak-kanak Muhammadiyah yang jauh dari tempat tinggal. Yuna kecil saat itu bersepeda terseok-seok setiap pagi dan siang hari.
Yuna kecil juga tidak terlalu dekat dengan Abah. Abah pergi merantau ke Kalimantan. Kami hanya bertemu saat liburan sekolah tiba. Itu pengorbanan Abah untuk ibu. Untuk saya. Untuk adik.
Ketika sekolah menengah pertama, saya membawa termos kecil berisi es buah ke sekolah. Menjualnya ke teman-teman saat jam istirahat. Tas sekolah saya saat itu juga bekas dari tante, adik ibu. Bentuknya kotak, berwarna biru tua, dan cukup besar. Terkadang buku pelajaran tidak luput dari rembesan air es di pinggiran termos. Saya hanya ingin membantu ibu. Hanya itu. Kehidupan merantau tidak mudah kawan.
Pekerjaan saya pada tahun 2007. Recovery pasca tsunami di kota Meulaboh, Aceh. Sedari awal, saya sadar betul bahwa hubungan jarak jauh tidaklah mudah. Dan betul, kami berdua tumbang ditengah perjalanan. Kawan, inilah pengorbanan cinta… Berlebihan. Tidak mengapa, asal bukan Pengemis Cinta seperti lagunya Bang Haji.
Kata Abah, setelah seseorang memutuskan menikah, urusan “ekonomi” menjadi dominan. Lalu saya menambahkan, tanpa mengabaikan kasih dan sayang tentunya. Terkadang saya berpikir, apakah jika nanti saya menikah, ideologi kemanusiaan saya tetap berada pada level saat ini. Saya tidak berani menjamin, uang tidak akan menggoyahkan iman “kemanusiaan” saya. Seandainya itu terjadi, rekan-rekan saya di desa pasti akan membentuk kelompok paduan suara lalu bernyanyi seperti ini didepan saya,
Buka dulu topengmu… Buka dulu topengmu… Bukaaaaaa topengmuuuuuuuuuuuuuuuuu…Bukaaaa…!!!
Bukan berarti materi tidak penting bagi saya. Tetapi setidaknya saya tidak memikirkan kenaikan harga pembalut bayi. Iman “kemanusiaan” saya masih dalam kondisi aman saat ini.
Belum lama ini, saya mendapat pesan singkat dari seorang kawan yang merantau jauh dari keluarga, isinya seperti ini,
Koyo ngenelah Yun, golekke pangan anake uwong… (Beginilah Yun, mencari makan untuk anak orang-istri maksudnya).
Saya membalasnya,
Kenapa dulu tidak kawin dengan kambing saja? Kau lepas di lapangan, selesai sudah.
Yogyakarta, jelang pagi bersama kambing jantan, meneladani Ibrahim, Hajar dan Ismail di pertengahan November 2010
Yun, terimakasih sudah mengingatkan makna pengorbanan. Kalau boleh ditanya, apa yang bisa kupilih saat ini, aku akan memilih menikah dan duduk manis sambil bekerja di rumah. Tetapi Tuhan mengatur lain, aku dimintaNya untuk bersabar menunda keinginan agar total melayani ciptaanNya. Bagiku itulah bentuk pengorbanan, meski harus tutup telinga bila ada banyak suara menghakimi:"Dasar perawan (menuju) tua, pilah pilih melulu, jalan melulu sampe lupa keluarga."
ReplyDeleteTuhan......
semaangaaaaaaaaaaaaaaaddddd mb dew ^^
ReplyDeleteTuhan tidak pernah membedakan hambaNya, perawan (menuju) tua, perjaka tua sempurna, janda, duda, atau apapun itu. Yang membedakan hanya keimanan kita kepadaNya ^^
Pengorbanan yah....
ReplyDelete(^_^)
Apapun wujudnya, seberapa mungil bentuknya...
Niat dan keikhlasan hati adalah batasnya...
Dan jangan Lupa...
Minumnya, Teh botol So***ooooo.....
hueheheheheheheeee.....
Teh botol Sotttoooooo... ^^
ReplyDelete