Profile

My photo
.:muslim.love Allah.love Muhammad saw.love Ibrahim as.indonesian.29 years old.a wife.a mom.love travelling and drawing.wear hijab since 2003:.

Labels

27.10.10

hanya sebuah cerita sederhana dariku untukmu

Sudah sepuluh bulan aku bekerja dikantorku sekarang ini. Dan selama sepuluh bulan itu, jika aku bekerja seharian dikantor, maka aku melaksanakan shalat dzuhur, ashar dan magrib di sebuah masjid. Tepat disebelah selatan kantor, cukup dengan berjalan kaki sekitar lima puluh meter.

Lalu apa yang menarik dari masjid itu? Bangunannya? Bukan.  Bangunannya biasa – biasa saja. Terletak di perkampungan penduduk muslim dan non muslim. Setiap hari Kamis, ba’da ashar, terdengar lagu – lagu Opick yang disetel dengan volume cukup kencang. Dan di hari lain, disebelah masjid itu, disebuah rumah penduduk, ibu – ibu non muslim berlatih paduan suara. 

Kawan, yang menarik dari masjid itu adalah karena ada seorang laki – laki yang menjadi “penunggu” masjid itu.  Seorang lelaki tua. Rambutnya sudah mulai memutih. Bisu. Mungkin juga tuli (aku tidak tahu pasti). Kaki kanannya cacat. Terdapat bekas operasi. Aku juga pernah melihat bekas tatto. Berjalan memakai penyangga besi. 

Selain bapak tua itu, beberapa hari terakhir,  aku sering menjumpai seorang ibu. Aku tidak bisa mendeskripsikannya secara jelas. Dia selalu muncul saat kami sudah mulai shalat berjamaah dan beranjak pergi sebelum kami selesai shalat berjamaah. Pertama kali, ketika itu si ibu mengambil tempat disebelahku. Kami baru saja mulai shalat, rakaat pertama. Aku sedikit terkejut, karena tiba – tiba dia langsung duduk. Bukannya mengikuti gerakan imam. Kami shalat mengikuti gerakan imam, sedangkan si ibu bergerak sesuka hati, menurut apa yang dia inginkan. Seusai shalat, aku baru tahu, si ibu gila.

Pertama, aku akan menceritakan keistimewaan si ibu bagi diriku. Sejak kejadian itu, setiap si ibu mengambil tempat disebelahku, dengan menutup mataku pun aku tahu bahwa itu dia. Dari aroma tubuhnya. Aku hafal aroma tubuhnya. Wangi? Tidak, justru sebaliknya. Kehadiran si ibu, mampu membuat air mataku menetes dalam shalat. Kawan, si ibu memang gila. Tetapi lihatlah, dia masih bisa mengingat apa itu Adzan. Adzan adalah panggilan shalat. Dan dia bergegas menuju ke masjid. Dia mengerti menutup auratnya ketika shalat. Dia mengerti memakai mukena. Sedangkan aku, aku bukan orang gila. Tapi apa yang aku lakukan ketika mendengar adzan? Aku justru lebih sering mengabaikannya. Menunda shalat. Astagfirullah hal adzim-ku yang pertama...

Kemudian yang kedua, tentang bapak bisu itu. Pertama kali aku melihatnya, tidak ada perasaan apapun. Biasa saja. Aku sudah cukup sering melihat orang cacat. Mungkin karena hampir setiap hari bapak bisu itu melihatku shalat di masjid, dia menjadi mengenaliku. Seusai shalat, aku mendapati sandal jepitku di anak tangga masuk masjid  sudah siap pakai. Bapak bisu itu duduk di dekat sandalku. “Baaa..baaa..ba...” begitu suaranya. Bagiku artinya adalah“Hei..aku yang melakukannya”. Aku mengucapkan terimakasih sembari tersenyum. Kejadian ini terus berulang. Hingga aku merasa sungkan.

Ketika aku selesai shalat magrib, berjalan menuju sepeda motor yang aku parkir di halaman depan masjid... “Baaa..baa...baaaaa...”, aku menoleh. Tangannya menunjuk ke arah utara, kemudian selatan. Aku membalas dengan senyum, kemudian tangannku menunjuk ke arah selatan. Aku akan pulang.

Saat aku usai shalat magrib, tanpa membawa sepeda motor, karena masih ada pekerjaan di kantor... “Babaaa...baaa...”, tangannya menirukan gaya menarik gas saat mengendarai motor. Aku cukup menunjuk ke arah utara. Artinya aku masih kembali ke kantor, jadi tidak membawa motor.  Dia mengangguk mantap.

Saat aku datang bulan, tidak mengunjungi masjid untuk beberapa hari... Bapak bisu itu duduk dihalaman kantor. Saat dia melihatku, “Baaabaaa..baaa...ba...huhh....”, tangannya menunjuk ke arah selatan, kemudian menirukan gerakan shalat, yaitu takbiratul ikhram. “Kemana saja kamu, tidak pernah shalat di masjid?”, aku mengartikannya seperti itu dan bingung harus menjawab bagaimana. Kawan, aku belum belajar bahasa tubuh seorang perempuan yang sedang datang bulan.

Bapak bisu itu mampu tersenyum...mampu tertawa lepas...saat melihat anak – anak bermain di halaman masjid. Bapak bisu itu sesekali menjadi tukang pijat atau tukang kerik orang sekitar yang masuk angin. Dan pasti masih banyak hal lain yang dia lakukan, yang aku tidak tahu.

Dia bisu. Dia pincang. Mungkin dia juga tuli. Tapi dia mampu menjadikan orang – orang disekitarnya menjadi sangat berarti. Dan karena itulah, orang lainpun menjadikan dia berarti. Apa yang dia lakukan mungkin hanya hal kecil. Tetapi, hal kecil itu bisa jadi lebih mulia dibandingkan dengan apa yang aku lakukan. Bekerja di LSM. Dengan niat membantu sesama. Banyak sesama. Tapi tanpa aku sadari, aku mengharap pujian dari sesama. Mulai ada rasa tidak ikhlas. Sering mengeluh.  Kawan, ini astagfirullah-ku yang kedua, ketiga... dan seterusnya...tidak terhingga.

No comments:

Post a Comment