05 Maret 2012, 19.05 wib
Keretaku masih lama. Aku tiba di stasiun dua jam sebelum keretaku berangkat. Aku akan ke Jakarta. Seharusnya aku berangkat besok pagi, sesuai rencana awal. Tetapi pesan singkat dari salah satu kantor maskapai penerbangan di Jakarta yang masuk ke telepon selulerku pukul lima sore tadi, mengubah seluruh rencana awal.
New message 05.03.2012 17:17
Diharapkan kehadirannya, Selasa 6 Maret 2012 untuk tes dan wawancara lanjutan. Mohon mereply sms ini untuk menyatakan kesediaannya.
Aku senang. Senang karena meskipun belum tentu diterima, aku mampu melewati tes tahap pertama bersama dengan 22 peserta lainnya. Setelah cukup lama aku tidak pernah melamar pekerjaan, mengikuti tes tertulis dan wawancara.
Aku masih berdiri sudut stasiun. Belum ada kursi yang ditinggalkan oleh pemiliknya. Taksaka akan berangkat pukul delapan. Setelah dia berangkat, akan banyak kursi kosong. Penumpang Argo Dwipangga, kereta yang akan membawaku nanti, tidak akan terlalu banyak sepertinya, karena dia berangkat dari Solo.
Di seberang, aku melihat gerbong kereta yang diam dan sunyi. Dingin. Kokoh. Entah berapa usia besi tua itu. Membuatku ingat pada wajah keriput Bapak Tua. Tetapi aku sudah tidak ingat lagi kapan terakhir aku bertemu dengannya. Sampai hari terakhir aku bekerja di kantorku yang lama, aku tidak pernah melihatnya.
Kukeluarkan buku harianku dari tas. Lalu mengamati sekitarku. Memastikan jika aku duduk di anak tangga ini, tidak mengganggu langkah kaki orang lain. Aman.
Membayangkan Bapak Tua duduk disampingku, melihat jari-jari tanganku membuka lembarannya dan mengartikan setiap gerak bibirku bercerita.
Kawan…aku beritahu. Setiap aku naik kereta api, aku tidak pernah membuang lembaran tiketnya. Seusai pemeriksaan tiket, aku selalu menempelkan lembaran tiket di buku harianku. Aku menambahkan catatan singkat untuk membantuku mengingat.
14 April 2011.
Senja Utama Yogyakarta.
Hari keempat setelah pernikahan kami. Aku dan Syahdani kembali ke Jakarta. Syahdani harus bekerja kembali. Dia hanya mendapat cuti selama empat hari untuk pernikahan kami. Sedangkan aku, aku hanya menemani dia untuk beberapa hari saja di Jakarta. Aku masih memiliki sisa cuti selama tiga hari.
21 April 2011.
Senja Utama Yogyakarta.
Aku berangkat ke Jakarta. Disebelahku seorang Ibu dengan dua anak. Namanya Ibu Ety. Putri sulungnya duduk di bangku SMA. Sedangkan si bungsu yang juga perempuan, masih sekolah dasar. Beliau tinggal di Yogyakarta bersama kedua putrinya. Suami beliau adalah lulusan teknik sipil sebuah perguruan tinggi negeri ternama di Yogyakarta dan saat ini mendapat tugas di Jakarta selama lima tahun kedepan. Long Distance Relationship.
Masih jelas dalam ingatanku, aku hanya tersenyum ketika Ibu Ety berkata seperti ini,
“Jarak jauh itu tidak mudah, banyak godaannya. Apalagi sudah menikah seperti kita, besar tanggungjawabnya. Tuhan yang menjadi saksinya… “
Lalu dalam hatiku,
Oya???
25 April 2011.
Taksaka 1.
Aku pulang ke Yogyakarta.
01 Juni 2011.
Senja Utama Yogyakarta.
Aku berangkat ke Jakarta.
05 Juni 2011.
Taksaka 2.
Aku pulang ke Yogyakarta.
22 Juli 2011.
Senja Utama Yogyakarta.
Aku berangkat ke Jakarta.
24 Juli 2011.
Taksaka 2.
Aku pulang ke Yogyakarta.
28 September 2011.
Senja Utama Yogyakarta.
Aku berangkat ke Jakarta.
02 Oktober 2011.
Taksaka 2.
Aku pulang ke Yogyakarta.
Sampai akhir tahun 2011, tidak ada lagi lembaran tiket kereta yang aku lekatkan di buku harianku. Karena setelah tanggal diatas, Syahdani yang menempuh Jakarta – Yogyakarta – Jakarta dengan kereta api ekonomi setiap satu, dua atau tiga minggu sekali. Sabtu malam berangkat dari Jakarta, Minggu pagi aku menjemputnya di stasiun kereta, lalu sembilan jam kemudian aku mengantarnya ke stasiun kereta untuk menempuh perjalanan ke Jakarta.
23 Februari 2012.
Senja Utama Yogyakarta.
Aku mendapat panggilan tes tertulis. Tes pertama di perusahaan maskapai penerbangan di Jakarta.
26 Februari 2012.
Senja Utama Yogyakarta.
Turun dimana Mbak?
Di Yogyakarta. Kalau Mbak?
Sama di Yogyakarta juga. Aku tinggal di belakang Hyatt, Mbak dimana?
Aku tinggal di Bantul.
Oooo…
Lalu kami sama-sama diam. Kali ini aku mencoba membuka percakapan kembali.
Kuliah di Jakarta?
Tidak Mbak, sudah lulus, baru saja. Ke Jakarta untuk panggilan tes kerja.
Tidak tertarik kerja di Yogyakarta saja?
Ah…mau kerja apa Mbak di Yogya… Oya, kalau Mbak? Kuliah di Jakarta?
Suamiku di Jakarta, kami jarak jauh.
Mbak sudah menikah?? Aku kira masih kuliah, masih muda sih…
Sudah hampir satu tahun aku menikah. Semua masih sama. Syahdani di Jakarta dan aku di Yogyakarta. Bisik-bisik manusia semakin lama semakin berisik. Ditambah dengan kondisiku yang belum juga hamil. Yang menyakitkan adalah ketika aku ditanya apakah aku memakai alat kontrasepsi.
Aku berani memutuskan menikah dengan Syahdani. Lelaki yang aku kenal akhir tahun 2006, ketika kami sama-sama mengikuti tes untuk sebuah perusahaan. Lalu pertemuan kedua kami adalah di bulan Februari 2011. Pernikahan kami, adalah pertemuan kami yang kelima. Sebuah keputusan besar dalam hidupku. Lalu mengapa aku harus merasa takut untuk hamil? Hanya Tuhan yang berhak menilaiku, apakah aku sudah pantas menjadi seorang Ibu.
Keretaku sudah tiba. Aku menutup buku harianku dan memasukkannya ke dalam tas. Aku berjalan menuju gerbong enam. Sesampainya di pintu gerbong, aku melihat ke belakang. Bapak tua masih berdiri disana. Berdiri bertumpu pada krek penyangga. Tersenyum sembari berkata,
“Bapak menunggumu disini. Menunggumu bercerita kembali…”
Dari balik jendela kereta, aku sudah tidak dapat menemukannya. Bapak tua sudah tidak ada disana. Lelah mencari sosoknya, mataku terpejam.
06 Maret 2012 02.17 wib
Dingin. Aku berjalan terhuyung ke kamar mandi. Suara gerbong kereta, roda besi dan rel panjang berbaur menjadi satu, saling berteriak. Tidak ada yang mau mengalah.
Bismillahirrahmanirrahim…
Rabb, tenangkan pikiranku, lapangkan hati ini…
Allahu Akbar…
Shalat malamku yang pertama…kedua…lalu entah yang keberapa aku berhenti. Air mataku tumpah.
Rabb,
Tidak ada satupun yang terlewat dari-Mu.
Tidak akan ada satu tetes pun air mata hamba pagi ini yang luput dari pandangan-Mu.
Tidak akan pernah ada.
Rabb,
Mengapa terasa berat melepaskan hal duniawi?
Mengapa takut terasa hebat jelang esok dan hari berikutnya?
Mengapa Engkau menuliskan skenario seperti ini dalam hidup hamba?
Rabb,
Belum sempat aku bertanya kepada Bapak tua.
Apa yang membuatnya yakin akan hari esok dan hari berikutnya?
Apa yang membuatnya ikhlas akan hari esok dan hari berikutnya?
Engkau tidak hanya membuat Bapak tua berhenti dari pekerjaannya karena kecelakaan itu.
Engkau juga mengambil kakinya yang utuh, dan Bapak tahu Engkau memang memiliki hak untuk melakukan itu.
Rabb,
Jenis “hati” apa yang Engkau berikan kepada Bapak?
Mengapa begitu luasnya?
Mengapa masih mampu memproduksi jutaan bahkan lebih senyuman dan gelak tawa?
Lalu jenis “hati” apa yang Engkau berikan kepada hamba?
Mengapa belum terasa lapang?
Mengapa hanya mampu menampakkan wajah muram?
Padahal hanya pekerjaan yang hilang dari hidup hamba.
Kaki hamba masih utuh.
Rabb,
Hamba mohon ampun atas semua kesalahan.
Hamba pasrah.
Hamba ikhlas.
Engkau yang menciptakan hamba.
Engkau berhak melakukan apapun dalam hidup hamba.
No comments:
Post a Comment